PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) merupakan salah satu elemen gerakan mahasiswa di Indonesia yang telah lama berkecimpung dalam dunia sosial-politik. Sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society), PMII mempunyai tugas dan peran yang strategis, yaitu dalam rangka turut mendorong dan melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Idealisme yang dibawa oleh PMII adalah cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, plural, toleran, demokratis, dan partisipatif. Hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai dasar pergerakannya (NDP) yang berakar pada pemahaman Islam progresif-kritis-transformatif dan nilai-nilai Indonesia yang plural, toleran, dan demokratis.
Untuk melaksanakan tugas dan peran di atas, PMII haruslah memiliki kapasitas organisasi yang memadai. Artinya, ia harus memiliki kemampuan dalam manajemen organisasi yang baik. Hal itu tentunya tidak terlepas dari aspek-aspek lainnya seperti kaderisasi dan kepemimpinan. Seperti halnya sebuah peribahasa Arab yang mengatakan bahwa “Kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir dengan baik”. Nah, dari sinilah kita dapat mengambil sebuah rasionalisasi yang argumentatif bahwa perlu ada sebuah sistem organisasi yang mencakup segala aspek secara komprehensif dalam rangka mencapai visi dan misi organisasi.
Dalam pengamatan penulis selama ini, PMII belum memiliki sebuah sistem keorganisasian yang sistematis dan komprehensif. Dalam perjalanan pergerakannya, PMII masih bekerja secara ‘acak-acakan’. Kerja-kerja kaderisasi, discourse building, sosialisasi, ataupun yang lainnya masih belum tersistematisasikan dalam sebuah kerangka kerja yang jelas. Akibatnya, masing-masing bagian (ketua, sekretaris, bendahara, dan departemen-departemen) bekerja sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang baik dengan bagian lainnya dan asal-asalan, tanpa visi dan misi yang memadai. Padahal kalau kita mengacu pada AD/ART dan Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII, maka kita dapat menemukan sebuah spirit yang visioner, transformatif, progresif, dan prospektif. Namun ternyata hal tersebut kurang idpahami dan diaplikasikan dalam bentuk program kerja yang sistematis dan komprehensif oleh para kader PMII yang menjalankan roda organisasi. Hal ini, menurut penulis, akan berakibat fatal pada eksistensi dan kontinuitas gerakan PMII sendiri ke depannya.
Lalu, sistem organisasi seperti apakah yang ideal bagi PMII? Menurut penulis, perlu bagi para pengurus PMII di berbagai tingkatan, baik rayon, komisariat, cabang, bahkan pengurus besar untuk membuat perencanaan strategis organisasi (strategic planning). Yang dimaksud dengan perencanaan strategis adalah sebuah sistem pengorganisasian sumber daya organisasi yang ada dengan mempertimbangkan dan diarahkan pada visi, misi, dan tujuan organisasi secara global yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk rencana program kerja gradual (bertahap), di mana masing-masing tahapan memiliki target-target tertentu yang akan dilanjutkan pada tahapan selanjutnya dengan target lanjutan pula.
Sumaryono (2009) menjelaskan bahwa perencanaan strategis merupakan “seperangkat prosedur pengambilan keputusan untuk tujuan dan strategi organisasi dalam kurun waktu yang lama”. Tujuan yang ingin didcapai adalah tujuan strategis (strategic goals), yaitu target-target utama atau hasil akhir yang berkaitan dengan kelangsungan hidup, nilai-nilai, dan perkembangan organisasi. Sedangkan strategi adalah pola tindakan dan alokasi sumberdaya yang didesain untuk pencapaian tujuan organisasi. Lebih mudahnya, perencanaan strategis dapat digambarkan dalam tahapan sebagai berikut :
Dari diagram di atas, kita dapat melihat dan memahmi bahwa proses perencanaan strategis dilakukan dengan tahapan:
a. Merumuskan visi, misi, dan tujuan organisasi
b. Analisis kekuatan dan kelemahan internal serta analisis peluang dan ancaman eksternal (SWOT)
c. Memformulasikan strategi pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi
d. Mengimplementasikan strategi yang telah dibuat
e. Melakukan kontrol dan evaluasi atas implementasi strategi yang ada.
Dengan membuat perencanaan strategis, kinerja pengurus akan lebih efektif, efisien, terarah, sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan (sustainable). Para pengurus yang menjalankan roda organisasi tidak akan kebingungan dalam menentukan langkah-langkah kinerja organisasi, apa yang harus dilakukan, dan kenapa ini atau itu yang harus diprioritaskan. Selain itu, kinerja organisasi tidak akan stagnan atau bahkan mundur karena adanya regenerasi kepengurusan, karena telah dibuat tahapan-tahapan strategis pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi. Jadi, apakah kita akan tetap berpegang pada cara kerja lama yang tidak sistematis, atau beralih pada sistem organisasi dengan metode perencanaan strategis yang lebih sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan?
Wallahu a’lam bis shawab.
16 December 2011
Multikulturalisme dalam Konteks Ke-Indonesia-an*
Istilah multikultural sebagai sebuah fakta yang tak terelakkan tentang adanya keanekaragaman berbeda dengan istilah multikulturalisme sebagai sebuah konsep yang bersifat normatif. Konsep multikulturalisme pertama kali muncul pada saat negara-negara maju menghadapi kenyataan adanya keanekaragaman yang kemudian menimbulkan tantangan tersendiri bagi mereka untuk menyelesaikan permasalahan rasial yang muncul. Namun, harus disadari bahwa pada akhirnya permasalahan tersebut juga akan dihadapi oleh negara-negara lain yang mengaku sebagai negara bangsa modern, di mana masyarakatnya semakin berkembang ke arah keberagaman, seperti halnya negara kita, Indonesia.
Ketika kita berbicara tentang multikulturalisme, kita tentu tidak bisa terlepas dari persoalan mengenai kaum minoritas. Namun, menurut Bikhu Parekh, sebenarnya multikulturalisme tidaklah secara spesifik menawarkan pembelaan terhadap kaum minoritas. Ia sebenarnya lebih menekankan pada usaha pembuatan konsep dan kebijakan yang diharapkan dapat menjaga dan memelihara dengan baik relationship di antara berbagai komunitas rasial yang ada (dalam Nurkhoiron, 2007: 18). Hal ini diperkuat oleh pendapat Homi Bhabha yang menyatakan bahwa konsep kaum minoritas muncul dari adanya konstruksi diskursif, yang kemudian memunculkan minoritisasi. Minoritas lebih sulit ditemukan di dalam kenyataan di lapangan, karena apa yang kita anggap sebagai kaum minoritas tidak lebih dari akibat kategorisasi kita terhadap mereka sebagai ‘the other’ yang kemudian melahirkan kategori-kategori minor (minoritas, tradisional, bodoh, tertinggal, terbelakang, dan sebagainya). Dalam konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan Orde Baru yang diskriminatif dan hegemonik terhadap berbagai komunitas yang dianggap sebagai minoritas, seperti penggunaan istilah “masyarakat terpencil”, yang dikeluarkan secara resmi oleh Dinas Sosial, dan tampaknya belum berubah sampai sekarang. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menurut mereka bertujuan untuk memberikan kemajuan dan demokrasi, yang dilatarbelakangi oleh konsep kemajuan, yang kemudian menjadi biang marjinalisasi dan minoritisasi kelompok-kelompok sosial tertentu, karena konsep kemajuan ini telah membagi ide-ide masyarakat ke dalam kategori-kategori menurut tingkatan kualitasnya: superior, inferior, maju, terbelakang, dan sebagainya.
Persoalan-persoalan yang timbul di dalam konteks ke-Indonesia-an berkaitan dengan kaum minoritas, sebenarnya tidak terlepas dari peran utama yang dimainkan oleh negara yang berkuasa dan kemudian membentuk wacana tertentu dari sudut pandang mereka. Hal inilah yang memunculkan politik representasi, yang akhirnya membentuk narasi di dalam masyarakat tentang kaum minoritas dan melegitimasi tindakan-tindakan yang diambilnya terhadap kaum minoritas tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan adanya sokongan dari aparatus negara dalam merealisasikan ‘gagasan’ negara terhadap masyarakat minoritas.
Dari Representasi ke Multikulturalisme
Sebagaimana kita ketahui bersama, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultural, dan oleh karenanya harus ditumbuhkan sebuah kesadaran multikulturalisme terhadap masyarakat seluruhnya. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana negara mampu memberikan contoh yang baik bagi rakyatnya dalam mewujudkan kesadaran multikulturalisme ini secara nyata dalam bentuk instrumen kebijakan yang benar-benar berpihak kepada mereka yang merupakan golongan minoritas. Memang saat ini kita dapat melihat adanya perkembangan yang lebih baik dalam hal kebijakan terhadap kaum minoritas yang bertujuan untuk mencegah diskriminasi dalam wilayah-wilayah seperti pendidikan, pekerjaan, praktik kebudayaan, dan sistem kepercayaan, di mana hal ini merupakan bagian dari proses ratifikasi berbagai konvensi hak asasi manusia. Setidaknya ada tiga dari lima konvensi utama hak asasi yang telah diratifikasi yang di dalamnya diatur mengenai larangan diskriminasi, yaitu: Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Namun, di sini terkandung sebuah kelemahan, di mana penggunaan istilah masyarakat adat dan pengadopsian beberapa unsur yang menyertainya masih berkecenderungan untuk mengarah pada penjustifikasian kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Seperti yang dialami oleh komunitas Tolotang yang meskipun secara numerik minoritas, namun dalam konstelasi politik lokal mampu memerankan siasat identitas kulturalnya untuk menempatkan wakilnya di dalam kursi pemerintahan.
Oleh karena itu, perlu upaya-upaya lebih lanjut untuk memetakan secara lebih mendalam komunitas lokal yang ada untuk kemudian menyiapkan instrumen kebijakan lokal yang berpihak kepada mereka. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa hal ini mutlak memerlukan komitmen dari pemerintah untuk mendukung upaya-upaya ini ke depan secara lebih baik dan konstruktif.
_____________________________________________________
*Artikel ini merupakan sebuah tulisan lama yang ditulis sebagai prasyarat ketika penulis menjadi peserta Sekolah Multikulturalisme yang diadakan oleh Lafadl Initiatives Yogyakarta pada tahun 2008.
Ketika kita berbicara tentang multikulturalisme, kita tentu tidak bisa terlepas dari persoalan mengenai kaum minoritas. Namun, menurut Bikhu Parekh, sebenarnya multikulturalisme tidaklah secara spesifik menawarkan pembelaan terhadap kaum minoritas. Ia sebenarnya lebih menekankan pada usaha pembuatan konsep dan kebijakan yang diharapkan dapat menjaga dan memelihara dengan baik relationship di antara berbagai komunitas rasial yang ada (dalam Nurkhoiron, 2007: 18). Hal ini diperkuat oleh pendapat Homi Bhabha yang menyatakan bahwa konsep kaum minoritas muncul dari adanya konstruksi diskursif, yang kemudian memunculkan minoritisasi. Minoritas lebih sulit ditemukan di dalam kenyataan di lapangan, karena apa yang kita anggap sebagai kaum minoritas tidak lebih dari akibat kategorisasi kita terhadap mereka sebagai ‘the other’ yang kemudian melahirkan kategori-kategori minor (minoritas, tradisional, bodoh, tertinggal, terbelakang, dan sebagainya). Dalam konteks Indonesia, hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan Orde Baru yang diskriminatif dan hegemonik terhadap berbagai komunitas yang dianggap sebagai minoritas, seperti penggunaan istilah “masyarakat terpencil”, yang dikeluarkan secara resmi oleh Dinas Sosial, dan tampaknya belum berubah sampai sekarang. Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menurut mereka bertujuan untuk memberikan kemajuan dan demokrasi, yang dilatarbelakangi oleh konsep kemajuan, yang kemudian menjadi biang marjinalisasi dan minoritisasi kelompok-kelompok sosial tertentu, karena konsep kemajuan ini telah membagi ide-ide masyarakat ke dalam kategori-kategori menurut tingkatan kualitasnya: superior, inferior, maju, terbelakang, dan sebagainya.
Persoalan-persoalan yang timbul di dalam konteks ke-Indonesia-an berkaitan dengan kaum minoritas, sebenarnya tidak terlepas dari peran utama yang dimainkan oleh negara yang berkuasa dan kemudian membentuk wacana tertentu dari sudut pandang mereka. Hal inilah yang memunculkan politik representasi, yang akhirnya membentuk narasi di dalam masyarakat tentang kaum minoritas dan melegitimasi tindakan-tindakan yang diambilnya terhadap kaum minoritas tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan adanya sokongan dari aparatus negara dalam merealisasikan ‘gagasan’ negara terhadap masyarakat minoritas.
Dari Representasi ke Multikulturalisme
Sebagaimana kita ketahui bersama, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multikultural, dan oleh karenanya harus ditumbuhkan sebuah kesadaran multikulturalisme terhadap masyarakat seluruhnya. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana negara mampu memberikan contoh yang baik bagi rakyatnya dalam mewujudkan kesadaran multikulturalisme ini secara nyata dalam bentuk instrumen kebijakan yang benar-benar berpihak kepada mereka yang merupakan golongan minoritas. Memang saat ini kita dapat melihat adanya perkembangan yang lebih baik dalam hal kebijakan terhadap kaum minoritas yang bertujuan untuk mencegah diskriminasi dalam wilayah-wilayah seperti pendidikan, pekerjaan, praktik kebudayaan, dan sistem kepercayaan, di mana hal ini merupakan bagian dari proses ratifikasi berbagai konvensi hak asasi manusia. Setidaknya ada tiga dari lima konvensi utama hak asasi yang telah diratifikasi yang di dalamnya diatur mengenai larangan diskriminasi, yaitu: Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Namun, di sini terkandung sebuah kelemahan, di mana penggunaan istilah masyarakat adat dan pengadopsian beberapa unsur yang menyertainya masih berkecenderungan untuk mengarah pada penjustifikasian kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Seperti yang dialami oleh komunitas Tolotang yang meskipun secara numerik minoritas, namun dalam konstelasi politik lokal mampu memerankan siasat identitas kulturalnya untuk menempatkan wakilnya di dalam kursi pemerintahan.
Oleh karena itu, perlu upaya-upaya lebih lanjut untuk memetakan secara lebih mendalam komunitas lokal yang ada untuk kemudian menyiapkan instrumen kebijakan lokal yang berpihak kepada mereka. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa hal ini mutlak memerlukan komitmen dari pemerintah untuk mendukung upaya-upaya ini ke depan secara lebih baik dan konstruktif.
_____________________________________________________
*Artikel ini merupakan sebuah tulisan lama yang ditulis sebagai prasyarat ketika penulis menjadi peserta Sekolah Multikulturalisme yang diadakan oleh Lafadl Initiatives Yogyakarta pada tahun 2008.
22 October 2011
Pesantren, Transformasi Sosial, dan Perjuangan Kemanusiaan: Sebuah Memoar Untuk Almarhum Ustadz Aang Baihaqi
“Semoga ada yang diridloi oleh Allah SWT...”
-Aang Baihaqi-
Sebuah Kejutan Kabar Duka
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah berpulang ke rahmatullah, Ustadz Aang Baihaqi, S. Ag, pada Sabtu, 9 Juli 2011 sekitar pukul 10.00 WIB di RSI Sakinah Mojokerto. Semoga amal ibadah beliau diterima Alloh SWT dan diampuni segala dosa dan khilaf beliau. Amin.
Itulah pesan singkat (SMS) yang aku terima dari salah seorang teman sepondok di Ponpes Al-Amin, Mojokerto, di mana pada saat itu aku masih berada di pondokan lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Dusun Banjarsari, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY. Aku sangat kaget dan bingung. Di satu sisi, aku sangat ingin bertakziyah ke rumah duka beliau. Namun di sisi lain, aku memiliki kewajiban untuk menyelesaikan tugas KKN-ku. Ketika aku meminta ijin kepada Koordinator Unit KKN-ku untuk takziyah, aku tak diperbolehkan, karena memang waktu yang dibutuhkan untuk itu pasti lebih dari 2 x 24 jam. Kalaupun mau ‘ngebut’, itu pasti sangat memaksakan. Pada akhirnya aku pun pasrah. Yang bisa aku lakukan hanyalah berdo’a, semoga beliau mendapatkan tempat yang terhormat di sisi Allah SWT.
Pada saat 40 hari beliau, aku pun tak bisa hadir, karena masih berada di lokasi KKN. Begitu juga kemarin, pada 16 Oktober 2011, aku tak bisa hadir dalam peringatan 100 hari wafat beliau, karena aku harus melaksanakan agenda-agenda kepengurusan PC PMII Sleman –di mana aku menjabat sebagai ketua umum- yang masih berjalan. Aku sebenarnya merasa sangat tidak enak, karena tidak bisa hadir sama sekali dalam acara pemakaman ataupun peringatan wafat beliau. Namun, apalah daya. Yang terpenting bagiku kemudian adalah bahwa semoga doaku dari dan di Jogja ini mampu menjadi manifestasi simbolik bagi sebuah kedukaan yang mendalam atas wafat beliau, sekaligus sebagai sebuah permohonan ampunan dan kasih sayang dari Allah SWT kepada orang yang sangat aku sayangi ini.
Santri dan Pergolakan Pribadi
Sosok Ustadz Aang merupakan sebuah mozaik kehidupan kemanusiaan. Bagaimana tidak, pengalaman-pengalaman kehidupan, pergulatan jiwa dan pemikiran, serta ‘pemberontakan-pemberontakan’ sosial yang beliau lakukan, merupakan kumpulan dari rangkaian perjalanan anak manusia yang sedang mencari makna dan hakikat kebenaran dan kemanusiaan.
Aku masih ingat, bagaimana beliau mempertanyakan kebenaran Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang merupakan landasan ideologi NU. Apalagi beliau melontarkan pertanyaan dan pernyataan kontroversial itu kepadaku dan teman-teman yang masih duduk di bangku kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pesantren Al-Amin. Ketika itu beliau mengajar kami mata pelajaran Ke-NU-an/Aswaja, sebuah mata pelajaran ‘wajib’ bagi siswa-siswa yang berada di sekolah-sekolah yang notabene berhaluan NU, apalagi berada di bawah naungan LP Ma’arif NU. Kami pun terbengong-bengong karena terkejut, bingung, dan tidak paham akan pemaparan beliau. Tapi justru dari situlah aku kemudian mulai belajar memahami Aswaja, dan buku yang aku baca adalah sebuah buku terbitan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) yang berjudul Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi.
Dalam kesempatan lain, ketika aku dan beberapa teman menghadap beliau di kediaman beliau yang berada di sebelah barat pondok, kami terlibat dalam obrolan dengan beliau tentang berbagai macam persoalan sosial, keagamaan, hingga persoalan politik. Beliau berbicara tentang kosmopolitanisme pemikiran Gus Dur, yang waktu itu aku bahkan belum tahu istilah kosmpolitanisme dan juga sosok Gus Dur. Beliau memperkenalkan pemahaman tentang pluralisme, demokrasi substantif, berbagai macam problematika kebangsaan, dan bahkan pentingnya peran pesantren sebagai agen sekaligus aktor perubahan sosial (social change).
Pengalaman ngobrol dengan seorang Nadzir Pesantren –jabatan beliau dalam struktur kepengurusan pondok pesantren- dalam suasana santai dan tidak jarang disertai guyonan merupakan sesuatu yang jarang aku dapatkan selama aku mondok di Ponpes Al-Amin. Entahlah, ketika berhadapan dan bercakap-cakap dengan beliau, aku merasakan sesuatu yang berbeda, seperti sebuah kedekatan emosional di antara 2 teman atau sahabat. Hal ini sangat berbeda dengan perasaanku ketika berhadapan dengan banyak ustadz lainnya yang terasa berjarak secara psikologis.
Dalam setiap percakapan dengan beliau, aku merasa selalu mendapatkan pengalaman dan inspirasi baru, atau kalau dalam istilah psikologi mungkin bisa disebut insigt. Semakin ke sini, seiring berjalannya waktu, aku pun mulai memahami kenapa aku merasakan kedekatan psikologis yang lebih dengan beliau dibandingkan dengan ustadz yang lain. Menurutku, hal itu karena besarnya pengaruh beliau terhadap tumbuhnya minat membacaku, dan karena pemikiran-pemikiran yang beliau lontarkan selalu menginspirasiku untuk mencari tahu maksud dan kebenarannya, yang membuatku semakin berhasrat untuk membaca dan membaca, bahkan hingga saat ini.
Dari Pesantren Untuk (Memperjuangkan) Kemanusiaan
Dalam berbagai kesempatan, Ustadz Aang senantiasa berusaha menyisipkan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi keyakinannya dan selalu diperjuangkannya. Ketika aku mencari-cari informasi mengenai kiprah sosial beliau lewat dunia maya, dan kuhubungkan dengan pernyataan-pernyataan beliau dalam berbagai kesempatanku bersua dengan beliau, aku memperoleh sebuah kesimpulan bahwa beliau merupakan seorang pejuang kemanusiaan tulen.
Beliau tercatat sebagai anggota Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur, sebuah organisasi yang merupakan tempat berkumpulnya para aktivis dan intelektual muslim yang peduli pada dan memperjuangkan keadilan, kesetaraan, pluralisme, dan sangat anti-diskriminasi. Ketika para anggota legislatif di Kota Mojokerto melakukan kunjungan kerja (kunker) ke luar Jawa tanpa alasan dan agenda yang jelas, dan diduga kuat hanya ingin menghabiskan anggaran yang berasal dari APBD, beliau tampil di depan publik untuk melakukan kritik sosial atas egoisme, arogansi, dan sikap pragmatis para legislator tersebut.
Dan masih banyak lagi pernyataan dan kiprah beliau yang aku sendiri kurang begitu paham. Namun, yang sangat aku pegang dan aku anut dari beliau adalah, bahwa segala kiprah sosial itu bersumber dari sebuah kesadaran seorang santri akan peran sosialnya, dan juga kesadaran akan pentingnya peran pesantren dalam upaya-upaya melakukan transformasi sosial menuju tatanan yang lebih demokratis nan berkeadilan sosial.
Setelah beliau, siapakah yang akan melanjutkan estafet perjuangan itu? Entahlah. Satu hal yang aku yakini adalah bahwa bibit-bibit kemanusiaan yang telah beliau tanamkan kepada kami para santrinya, dan yang beliau semaikan dalam berbagai konteks kemasyarakatan, pasti akan menuai hasilnya yang sepadan, dan akan muncul generasi penerus beliau di masa depan untuk meneruskan desakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. InsyaAllah.
Terima kasih, Ustadz. Selamat jalan. Semoga engkau damai di sisi-Nya.
____________________________________________________
NB: Artikel ini juga dimuat di Kompasiana.
-Aang Baihaqi-
Sebuah Kejutan Kabar Duka
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Telah berpulang ke rahmatullah, Ustadz Aang Baihaqi, S. Ag, pada Sabtu, 9 Juli 2011 sekitar pukul 10.00 WIB di RSI Sakinah Mojokerto. Semoga amal ibadah beliau diterima Alloh SWT dan diampuni segala dosa dan khilaf beliau. Amin.
Itulah pesan singkat (SMS) yang aku terima dari salah seorang teman sepondok di Ponpes Al-Amin, Mojokerto, di mana pada saat itu aku masih berada di pondokan lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Dusun Banjarsari, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Propinsi DIY. Aku sangat kaget dan bingung. Di satu sisi, aku sangat ingin bertakziyah ke rumah duka beliau. Namun di sisi lain, aku memiliki kewajiban untuk menyelesaikan tugas KKN-ku. Ketika aku meminta ijin kepada Koordinator Unit KKN-ku untuk takziyah, aku tak diperbolehkan, karena memang waktu yang dibutuhkan untuk itu pasti lebih dari 2 x 24 jam. Kalaupun mau ‘ngebut’, itu pasti sangat memaksakan. Pada akhirnya aku pun pasrah. Yang bisa aku lakukan hanyalah berdo’a, semoga beliau mendapatkan tempat yang terhormat di sisi Allah SWT.
Pada saat 40 hari beliau, aku pun tak bisa hadir, karena masih berada di lokasi KKN. Begitu juga kemarin, pada 16 Oktober 2011, aku tak bisa hadir dalam peringatan 100 hari wafat beliau, karena aku harus melaksanakan agenda-agenda kepengurusan PC PMII Sleman –di mana aku menjabat sebagai ketua umum- yang masih berjalan. Aku sebenarnya merasa sangat tidak enak, karena tidak bisa hadir sama sekali dalam acara pemakaman ataupun peringatan wafat beliau. Namun, apalah daya. Yang terpenting bagiku kemudian adalah bahwa semoga doaku dari dan di Jogja ini mampu menjadi manifestasi simbolik bagi sebuah kedukaan yang mendalam atas wafat beliau, sekaligus sebagai sebuah permohonan ampunan dan kasih sayang dari Allah SWT kepada orang yang sangat aku sayangi ini.
Santri dan Pergolakan Pribadi
Sosok Ustadz Aang merupakan sebuah mozaik kehidupan kemanusiaan. Bagaimana tidak, pengalaman-pengalaman kehidupan, pergulatan jiwa dan pemikiran, serta ‘pemberontakan-pemberontakan’ sosial yang beliau lakukan, merupakan kumpulan dari rangkaian perjalanan anak manusia yang sedang mencari makna dan hakikat kebenaran dan kemanusiaan.
Aku masih ingat, bagaimana beliau mempertanyakan kebenaran Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang merupakan landasan ideologi NU. Apalagi beliau melontarkan pertanyaan dan pernyataan kontroversial itu kepadaku dan teman-teman yang masih duduk di bangku kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pesantren Al-Amin. Ketika itu beliau mengajar kami mata pelajaran Ke-NU-an/Aswaja, sebuah mata pelajaran ‘wajib’ bagi siswa-siswa yang berada di sekolah-sekolah yang notabene berhaluan NU, apalagi berada di bawah naungan LP Ma’arif NU. Kami pun terbengong-bengong karena terkejut, bingung, dan tidak paham akan pemaparan beliau. Tapi justru dari situlah aku kemudian mulai belajar memahami Aswaja, dan buku yang aku baca adalah sebuah buku terbitan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) yang berjudul Kontroversi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi.
Dalam kesempatan lain, ketika aku dan beberapa teman menghadap beliau di kediaman beliau yang berada di sebelah barat pondok, kami terlibat dalam obrolan dengan beliau tentang berbagai macam persoalan sosial, keagamaan, hingga persoalan politik. Beliau berbicara tentang kosmopolitanisme pemikiran Gus Dur, yang waktu itu aku bahkan belum tahu istilah kosmpolitanisme dan juga sosok Gus Dur. Beliau memperkenalkan pemahaman tentang pluralisme, demokrasi substantif, berbagai macam problematika kebangsaan, dan bahkan pentingnya peran pesantren sebagai agen sekaligus aktor perubahan sosial (social change).
Pengalaman ngobrol dengan seorang Nadzir Pesantren –jabatan beliau dalam struktur kepengurusan pondok pesantren- dalam suasana santai dan tidak jarang disertai guyonan merupakan sesuatu yang jarang aku dapatkan selama aku mondok di Ponpes Al-Amin. Entahlah, ketika berhadapan dan bercakap-cakap dengan beliau, aku merasakan sesuatu yang berbeda, seperti sebuah kedekatan emosional di antara 2 teman atau sahabat. Hal ini sangat berbeda dengan perasaanku ketika berhadapan dengan banyak ustadz lainnya yang terasa berjarak secara psikologis.
Dalam setiap percakapan dengan beliau, aku merasa selalu mendapatkan pengalaman dan inspirasi baru, atau kalau dalam istilah psikologi mungkin bisa disebut insigt. Semakin ke sini, seiring berjalannya waktu, aku pun mulai memahami kenapa aku merasakan kedekatan psikologis yang lebih dengan beliau dibandingkan dengan ustadz yang lain. Menurutku, hal itu karena besarnya pengaruh beliau terhadap tumbuhnya minat membacaku, dan karena pemikiran-pemikiran yang beliau lontarkan selalu menginspirasiku untuk mencari tahu maksud dan kebenarannya, yang membuatku semakin berhasrat untuk membaca dan membaca, bahkan hingga saat ini.
Dari Pesantren Untuk (Memperjuangkan) Kemanusiaan
Dalam berbagai kesempatan, Ustadz Aang senantiasa berusaha menyisipkan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi keyakinannya dan selalu diperjuangkannya. Ketika aku mencari-cari informasi mengenai kiprah sosial beliau lewat dunia maya, dan kuhubungkan dengan pernyataan-pernyataan beliau dalam berbagai kesempatanku bersua dengan beliau, aku memperoleh sebuah kesimpulan bahwa beliau merupakan seorang pejuang kemanusiaan tulen.
Beliau tercatat sebagai anggota Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur, sebuah organisasi yang merupakan tempat berkumpulnya para aktivis dan intelektual muslim yang peduli pada dan memperjuangkan keadilan, kesetaraan, pluralisme, dan sangat anti-diskriminasi. Ketika para anggota legislatif di Kota Mojokerto melakukan kunjungan kerja (kunker) ke luar Jawa tanpa alasan dan agenda yang jelas, dan diduga kuat hanya ingin menghabiskan anggaran yang berasal dari APBD, beliau tampil di depan publik untuk melakukan kritik sosial atas egoisme, arogansi, dan sikap pragmatis para legislator tersebut.
Dan masih banyak lagi pernyataan dan kiprah beliau yang aku sendiri kurang begitu paham. Namun, yang sangat aku pegang dan aku anut dari beliau adalah, bahwa segala kiprah sosial itu bersumber dari sebuah kesadaran seorang santri akan peran sosialnya, dan juga kesadaran akan pentingnya peran pesantren dalam upaya-upaya melakukan transformasi sosial menuju tatanan yang lebih demokratis nan berkeadilan sosial.
Setelah beliau, siapakah yang akan melanjutkan estafet perjuangan itu? Entahlah. Satu hal yang aku yakini adalah bahwa bibit-bibit kemanusiaan yang telah beliau tanamkan kepada kami para santrinya, dan yang beliau semaikan dalam berbagai konteks kemasyarakatan, pasti akan menuai hasilnya yang sepadan, dan akan muncul generasi penerus beliau di masa depan untuk meneruskan desakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. InsyaAllah.
Terima kasih, Ustadz. Selamat jalan. Semoga engkau damai di sisi-Nya.
____________________________________________________
NB: Artikel ini juga dimuat di Kompasiana.
20 October 2011
Di Ambang Ketidakpercayaan Publik (?)
Negara kita tak pernah berhenti didera masalah. Berbagai permasalahan terus menghampiri, mulai dari bencana alam, bencana industrial, pengangguran, rendahnya upah buruh, ‘penguasaan’ sumberdaya alam oleh investor asing, berbagai tindak korupsi, carut-marut dunia pendidikan, persoalan perbatasan dengan negara ‘sebelah’, hingga hukuman pancung TKI di Arab Saudi. Belum lagi permasalahan-permasalahan lain yang terjadi silih berganti –bahkan menumpuk- di berbagai daerah.
Rakyat pun semakin jenuh, frustrasi, dan bahkan depresi, karena hampir selalu dihadapkan dengan ketidakbecusan penanganan negara terhadap masalah-masalah yang ada. Bila hal ini terus berlanjut, maka tidak mustahil bahwa akan timbul ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan penegak hukum.
Dalam perspektif psikologi sosial, hilangnya kepercayaan terhadap individu atau lembaga disebabkan oleh dua hal pokok (Bies & Tripp, 1996). Pertama, adanya ketidaksesuaian kinerja individu atau lembaga dengan nilai-nilai sosial. Mereka dianggap melanggar civic order, seperti ingkar janji, berbohong, memanipulasi aturan, dan menyalahgunakan wewenang.
Kedua, tindakan yang merusak identitas sosial, seperti berbuat tidak adil secara terbuka (diskriminatif, tebang pilih) dan mengkritik kelompoknya sendiri di depan umum. Ketidakpercayaan publik ini –jika dibiarkan tanpa ada upaya nyata untuk membangun kembali kepercayaan- akan muncul dalam bentuk tindakan tidak melakukan apapun (apatis), konfrontasi (protes), atau mengalihkan pada permasalahan lain (escape).
Berbagai macam gerakan protes yang dilakukan rakyat, baik melalui aksi jalanan, mogok makan, berbagai upaya judicial review, hingga gerakan “koin peduli”, merupakan manifestasi nyata dari ketidakpercayaan publik. Begitu pula tingginya rating sinetron-sinetron ‘picisan’ dan program-program reality show dalam tayangan televisi kita, menurut penulis, merupakan sebentuk pelarian (escape) masyarakat dari kejenuhan menghadapi realitas yang menyesakkan.
Membangun (Kembali) Kepercayaan
Membangun sebuah kepercayaan (trust) bukanlah hal yang mudah. Ketika berbagai pelanggaran terhadap civic order -sebagaimana disebutkan di atas- telah melekat dalam kognisi rakyat, maka kepercayaan yang telah terbentuk sebelumnya akan menurun drastis, bahkan mengarah pada ketidakpercayaan publik. Mungkin rakyat masih patuh kepada pemerintah sebagai penguasa yang sah (institutional-based trust), namun dalam perjalanannya mereka sebenarnya menentang dan tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan dan cara-cara yang digunakan pemerintah dalam memimpin negara. Padahal membangun kepercayaan demikian merupakan kemutlakan dan harus melalui proses yang lama (process-based trust), jika pemerintah tidak ingin kehilangan legitimasi.
Ada empat dimensi kepercayaan, yaitu kompetensi, keterbukaan, kepedulian, dan reliabilitas (Mishra, 1996). Keempat dimensi tersebut merupakan satu kesatuan. Tinggi atau rendahnya kepercayaan rakyat tergantung pada kompetensi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan, keterbukaan dalam menyampaikan informasi publik, kepedulian nyata (dalam bentuk kebijakan) terhadap problem-problem kebangsaan, serta konsistensi dalam menjalankan pemerintahan yang baik.
Mencermati realitas saat ini, harapan akan terpenuhinya keempat dimensi kepercayaan di atas tampak tidak realistis. Kompetensi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan sangat meragukan, terbukti dengan berbagai problem yang belum terselesaikan hingga kini, bahkan melahirkan problem-problem baru, seperti kasus terbunuhnya Munir dan korban tragedi 1998, kasus Bank Century, biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal, dan angka pengangguran yang semakin meningkat. Keterbukaan pemerintah dalam menyampaikan informasi publik tercoreng oleh pernyataan Seskab yang mengarah pada ‘kriminalisasi’ media. Kepedulian terhadap problem-problem kebangsaan pun sangat kecil, dan semakin menunjukkan inkonsistensi pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang baik.
Oleh karenanya, apabila pemerintah ingin mengembalikan kepercayaan rakyat, maka menjadi sebuah keharusan untuk melakukan langkah-langkah riil dalam menyelesaikan berbagai problem kebangsaan, dan rakyat akan melihat dengan sendirinya kompetensi, kepedulian, dan konsistensi pemerintah. Pemerintah pun harus bersikap terbuka, baik dalam hal penyampaian informasi kepada publik maupun penerimaan kritik dari rakyat, karena menutup-nutupi persoalan dan bersikap arogan (anti-kritik) hanya akan memperbesar kecurigaan rakyat terhadap ketidakberesan dalam pemerintahan.
Bukankah demikian demokrasi yang selama ini kita cita-citakan?
Rakyat pun semakin jenuh, frustrasi, dan bahkan depresi, karena hampir selalu dihadapkan dengan ketidakbecusan penanganan negara terhadap masalah-masalah yang ada. Bila hal ini terus berlanjut, maka tidak mustahil bahwa akan timbul ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah dan penegak hukum.
Dalam perspektif psikologi sosial, hilangnya kepercayaan terhadap individu atau lembaga disebabkan oleh dua hal pokok (Bies & Tripp, 1996). Pertama, adanya ketidaksesuaian kinerja individu atau lembaga dengan nilai-nilai sosial. Mereka dianggap melanggar civic order, seperti ingkar janji, berbohong, memanipulasi aturan, dan menyalahgunakan wewenang.
Kedua, tindakan yang merusak identitas sosial, seperti berbuat tidak adil secara terbuka (diskriminatif, tebang pilih) dan mengkritik kelompoknya sendiri di depan umum. Ketidakpercayaan publik ini –jika dibiarkan tanpa ada upaya nyata untuk membangun kembali kepercayaan- akan muncul dalam bentuk tindakan tidak melakukan apapun (apatis), konfrontasi (protes), atau mengalihkan pada permasalahan lain (escape).
Berbagai macam gerakan protes yang dilakukan rakyat, baik melalui aksi jalanan, mogok makan, berbagai upaya judicial review, hingga gerakan “koin peduli”, merupakan manifestasi nyata dari ketidakpercayaan publik. Begitu pula tingginya rating sinetron-sinetron ‘picisan’ dan program-program reality show dalam tayangan televisi kita, menurut penulis, merupakan sebentuk pelarian (escape) masyarakat dari kejenuhan menghadapi realitas yang menyesakkan.
Membangun (Kembali) Kepercayaan
Membangun sebuah kepercayaan (trust) bukanlah hal yang mudah. Ketika berbagai pelanggaran terhadap civic order -sebagaimana disebutkan di atas- telah melekat dalam kognisi rakyat, maka kepercayaan yang telah terbentuk sebelumnya akan menurun drastis, bahkan mengarah pada ketidakpercayaan publik. Mungkin rakyat masih patuh kepada pemerintah sebagai penguasa yang sah (institutional-based trust), namun dalam perjalanannya mereka sebenarnya menentang dan tidak sepakat dengan kebijakan-kebijakan dan cara-cara yang digunakan pemerintah dalam memimpin negara. Padahal membangun kepercayaan demikian merupakan kemutlakan dan harus melalui proses yang lama (process-based trust), jika pemerintah tidak ingin kehilangan legitimasi.
Ada empat dimensi kepercayaan, yaitu kompetensi, keterbukaan, kepedulian, dan reliabilitas (Mishra, 1996). Keempat dimensi tersebut merupakan satu kesatuan. Tinggi atau rendahnya kepercayaan rakyat tergantung pada kompetensi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan, keterbukaan dalam menyampaikan informasi publik, kepedulian nyata (dalam bentuk kebijakan) terhadap problem-problem kebangsaan, serta konsistensi dalam menjalankan pemerintahan yang baik.
Mencermati realitas saat ini, harapan akan terpenuhinya keempat dimensi kepercayaan di atas tampak tidak realistis. Kompetensi pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan sangat meragukan, terbukti dengan berbagai problem yang belum terselesaikan hingga kini, bahkan melahirkan problem-problem baru, seperti kasus terbunuhnya Munir dan korban tragedi 1998, kasus Bank Century, biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal, dan angka pengangguran yang semakin meningkat. Keterbukaan pemerintah dalam menyampaikan informasi publik tercoreng oleh pernyataan Seskab yang mengarah pada ‘kriminalisasi’ media. Kepedulian terhadap problem-problem kebangsaan pun sangat kecil, dan semakin menunjukkan inkonsistensi pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang baik.
Oleh karenanya, apabila pemerintah ingin mengembalikan kepercayaan rakyat, maka menjadi sebuah keharusan untuk melakukan langkah-langkah riil dalam menyelesaikan berbagai problem kebangsaan, dan rakyat akan melihat dengan sendirinya kompetensi, kepedulian, dan konsistensi pemerintah. Pemerintah pun harus bersikap terbuka, baik dalam hal penyampaian informasi kepada publik maupun penerimaan kritik dari rakyat, karena menutup-nutupi persoalan dan bersikap arogan (anti-kritik) hanya akan memperbesar kecurigaan rakyat terhadap ketidakberesan dalam pemerintahan.
Bukankah demikian demokrasi yang selama ini kita cita-citakan?
21 February 2011
Menyoal (Kembali) Peranan Agama dalam Demokratisasi di Indonesia*
“Bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, maka pada hakikatnya engkau telah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau Dia menyulitkan kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya”.
(Al-Hujwiri)
Beberapa minggu yang lalu, kehidupan masyarakat Indonesia ‘terguncang’ oleh munculnya insiden Gereja HKBP di Bekasi. Tidak lama kemudian, kita menyaksikan lewat media massa, aksi para perampok bersenjata yang diduga merupakan teroris yang ingin menegakkan khilafah Islamiyyah di Indonesia. Dalam sebuah wawancara televisi, salah satu tersangka yang ditangkap mengaku bahwa harta yang mereka rampok adalah fa’i, karena diambil dari ‘musuh-musuh Islam’, sehingga sah hukumnya melakukan hal tersebut.
Dan beberapa hari yang lalu, perdamaian yang telah lama tercipta di Tarakan terusik. Dua kelompok etnik, yaitu Tidung dan Bugis, terlibat konflik yang menewaskan tidak kurang dari 5 orang. Walaupun akhirnya tercapai kesepakatan damai, namun potensi konflik ini masih dapat muncul sewaktu-waktu.
Kita pun menjadi bertanya-tanya, mengapa kekerasan dan konflik tersebut bisa terjadi? Bukankah bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran?
Agama dan Kesadaran Beragama
Kalau kita telusuri secara lebih mendalam, perilaku terorisme sebenarnya berasal dari kesadaran kognitif para pelakunya yang memahami bahwa Indonesia bukanlah negara Islam (dar al-Islam) karena belum menerapkan syariat Islam secara kaffah, yaitu dengan formalisasi sistem khilafah. Oleh karenanya, bagi mereka, Indonesia adalah medan untuk berperang mewujudkan khilafah (dar al-harb), dan harta yang dirampas darinya disebut dengan fai. Bagi mereka, aparat keamanan negara kita yang menghalangi “jihad” mereka adalah musuh, dan oleh karenanya harus dibunuh. Adapun sasaran mereka adalah sang presiden, karena dialah yang mereka anggap telah menjerumuskan bangsa yang mayoritas muslim ini ke dalam sistem ‘kafir’.
Aksi terorisme, kemudian juga konflik yang mengakibatkan insiden seperti gereja HKBP, sebenarnya tidak terlepas dari kesadaran beragama yang masih fanatik dan eksklusif. Kenapa demikian? Karena kita seharusnya membedakan 2 hal, yaitu antara kesadaran agama dan kesadaran beragama. Yang pertama berkaitan dengan pemahaman doktrinal terhadap ajaran agama, sedangkan yang kedua berkaitan dengan praktik penerapan perilaku beragama dalam lingkup sosial. Terlepas dari dugaan adanya pihak ketiga yang ‘bermain di air keruh’, insiden gereja HKBP menunjukkan bahwa masyarakat kita masih terjebak pada kesadaran agama yang sangat kuat, namun miskin kesadaran beragama.
Begitu juga halnya dengan konflik antara kelompok suku Tidung dan Bugis di Tarakan bisa dilihat dari sudut pandang demikian. Namun yang lebih penting, sebenarnya konflik ini bukanlah konflik etnis, karena kalau kita telusuri secara lebih mendalam, ia hanyalah efek dari kondisi sosio-ekonomi masyarakat Tarakan yang masih belum stabil. Problem perebutan ‘ruang sosial’ dan sumber-sumber ekonomilah sebenarnya yang menyebabkan mereka mudah tersulut ‘api’.
Agama dan Demokratisasi
Dari ketiga kasus tersebut, menurut penulis, ada satu benang merah yang dapat diambil, yaitu mengenai peranan agama di dalam masyarakat.
Kita tentunya sepakat bahwa semua agama dihadirkan ke muka bumi ini adalah untuk menyebarkan perdamaian dan moralitas luhur kemanusiaan. Manusia, menurut Islam, adalah khalifah yang diberi mandat oleh Allah untuk mengelola alam ini. Sehingga dari sinilah kita bisa melihat tiga dimensi hubungan yang kita jalin, yaitu manusia dengan Tuhan (transendental), manusia dengan sesama manusia lainnya (sosial), dan manusia dengan makhluk lain serta alam yang dia tempati (lingkungan).
Untuk dimensi pertama dapat kita maknai sebagai kesalehan individual, karena hanya berkisar hubungan si hamba dengan Tuhannya. Sedangkan dimensi kedua dan ketiga bisa kita maknai sebagai kesalehan sosial, karena berkaitan dengan relasi kita dengan orang lain, makhluk lain serta lingkungan.
Dalam kenyataannya, masih banyak di antara kaum beragama kita yang masih terlalu menekankan pada kesalehan individual. Mereka lebih menekankan pada aspek ritual seperti shalat, pergi ke gereja, dan sebagainya, daripada memikirkan aspek sosial dan lingkungan seperti persoalan kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, perusakan lingkungan, dan sebagainya. Mereka jarang mau melihat dan mendengar secara langsung dengan hati nurani mereka tentang kondisi masyarakatnya dan kondisi lingkungannya, sehingga bagi mereka yang terpenting adalah ibadah ritual untuk mencapai surga-Nya.
Padahal dalam semua agama, termasuk Islam, kita dapat mencermati bahwa ajaran-ajarannya sangatlah menekankan peranan manusia dalam menciptakan kesejahteraan, kedamaian, dan keserasian kehidupannya. Dan untuk mewujudkan hal demikian tentunya manusia tersebut haruslah benar-benar memahami manusia lainnya, saling mengenal, dan bekerjasama untuk memelihara kehidupan dan lingkungannya.
Dalam konteks Indonesia, kita harus sadar bahwa masih banyak tantangan yang harus kita hadapi untuk mewujudkan demokratisasi sepenuhnya. Rakyat kita masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, pengangguran masih tinggi, ancaman disintegrasi bangsa, persoalan perusakan lingkungan hidup, agenda pemberantasan korupsi, dan permasalahan-permasalahan lainnya seharusnya menjadi ‘lahan’ perjuangan (jihad) para agamawan dan kaum beragama kita, sehingga perhatian kita tidak hanya berkisar soal khilafah, perebutan pemeluk agama, pembakaran al-Quran, atau yang semacamnya. Demokratisasi menjadi suatu keniscayaan yang harus diperjuangkan, dan para agamawan serta kaum beragama harus memikirkan kembali perannya di dalam agenda demokratisasi ini.
Membaca Realitas, Memposisikan PMII
PMII sebagai bagian dari masyarakat sipil Indonesia, adalah organisasi kader berbasis agama yang bercita-cita memunculkan kader-kader ulul albab, yang memiliki kesadaran transendental serta kesadaran sosial (sense of social crisis), serta mewujudkan transformasi sosial-demokratik di Indonesia. Oleh karena itu, PMII dituntut untuk melaksanakan pengkaderan secara intensif dan sistematis sesuai dengan nilai-nilai Aswaja dengan paradigma kritis-transformatif, sehingga lahir sosok-sosok intelektual yang concern terhadap realitas sosial serta turut aktif dalam mewujudkan transformasi demokratik di Indonesia. Kita memiliki banyak sarjana dan akademisi, namun jarang di antara mereka yang adalah juga intelektual, khususnya intelektual organik.
Selain itu, PMII juga dituntut untuk terlibat dalam aksi-aksi sosial dalam rangka transformasi sosial, seperti pendidikan kesadaran kritis di masyarakat, kritisisme terhadap kebijakan lokal dan nasional, serta advokasi masyarakat. Yang harus disadari, ini semua haruslah dimaknai sebagai manifestasi kesadaran beragama sebagai hasil dari pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran agama Islam yang rahmatan li al-‘alamin.
Adapun PMII Komisariat Gadjah Mada dituntut mampu memposisikan dirinya di dalam konstelasi sosial dalam lingkup UGM –sebagai basis material pergerakannya- yang notabene adalah kampus kerakyatan. Setidaknya ada 2 tantangan yang harus dihadapi, yaitu fundamentalisme agama dan liberalisasi pendidikan. Yang pertama berkaitan dengan agenda kelompok-kelompok fundamentalis yang berkeinginan menjadikan mahasiswa UGM sebagai kader-kader mereka untuk kepentingan sempit dan politis mereka –dan hal tersebut mengancam pluralitas masyarakat kita, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebijakan struktural negara yang ‘disetir’ oleh kepentingan kapitalisme neoliberal yang ingin menjadikan sektor pendidikan sebagai bisnis jasa pendidikan, bukan sebagai pelayanan publik yang menjadi hak asasi warganegara.
Sebuah harapan besar, lahir dari ‘rahim’ PMII, khususnya PMII Komisariat Gadjah Mada, sosok seperti Gus Dur, Romo Mangun, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, dan Vandana Shiva, yang memiliki keprihatinan sosial dan memanifestasikannya dalam langkah-langkah nyata –dan semua itu tidak terlepas dari penghayatan bahwa agama dapat dan harus berperan sebagai spirit transformasi sosial.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
*Artikel ini pernah disampaikan sebagai bahan diskusi dalam Kajian Pra-MAPABA I PMII Forum Rayon Komisariat Gadjah Mada pada Oktober 2010.
(Al-Hujwiri)
Beberapa minggu yang lalu, kehidupan masyarakat Indonesia ‘terguncang’ oleh munculnya insiden Gereja HKBP di Bekasi. Tidak lama kemudian, kita menyaksikan lewat media massa, aksi para perampok bersenjata yang diduga merupakan teroris yang ingin menegakkan khilafah Islamiyyah di Indonesia. Dalam sebuah wawancara televisi, salah satu tersangka yang ditangkap mengaku bahwa harta yang mereka rampok adalah fa’i, karena diambil dari ‘musuh-musuh Islam’, sehingga sah hukumnya melakukan hal tersebut.
Dan beberapa hari yang lalu, perdamaian yang telah lama tercipta di Tarakan terusik. Dua kelompok etnik, yaitu Tidung dan Bugis, terlibat konflik yang menewaskan tidak kurang dari 5 orang. Walaupun akhirnya tercapai kesepakatan damai, namun potensi konflik ini masih dapat muncul sewaktu-waktu.
Kita pun menjadi bertanya-tanya, mengapa kekerasan dan konflik tersebut bisa terjadi? Bukankah bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah dan toleran?
Agama dan Kesadaran Beragama
Kalau kita telusuri secara lebih mendalam, perilaku terorisme sebenarnya berasal dari kesadaran kognitif para pelakunya yang memahami bahwa Indonesia bukanlah negara Islam (dar al-Islam) karena belum menerapkan syariat Islam secara kaffah, yaitu dengan formalisasi sistem khilafah. Oleh karenanya, bagi mereka, Indonesia adalah medan untuk berperang mewujudkan khilafah (dar al-harb), dan harta yang dirampas darinya disebut dengan fai. Bagi mereka, aparat keamanan negara kita yang menghalangi “jihad” mereka adalah musuh, dan oleh karenanya harus dibunuh. Adapun sasaran mereka adalah sang presiden, karena dialah yang mereka anggap telah menjerumuskan bangsa yang mayoritas muslim ini ke dalam sistem ‘kafir’.
Aksi terorisme, kemudian juga konflik yang mengakibatkan insiden seperti gereja HKBP, sebenarnya tidak terlepas dari kesadaran beragama yang masih fanatik dan eksklusif. Kenapa demikian? Karena kita seharusnya membedakan 2 hal, yaitu antara kesadaran agama dan kesadaran beragama. Yang pertama berkaitan dengan pemahaman doktrinal terhadap ajaran agama, sedangkan yang kedua berkaitan dengan praktik penerapan perilaku beragama dalam lingkup sosial. Terlepas dari dugaan adanya pihak ketiga yang ‘bermain di air keruh’, insiden gereja HKBP menunjukkan bahwa masyarakat kita masih terjebak pada kesadaran agama yang sangat kuat, namun miskin kesadaran beragama.
Begitu juga halnya dengan konflik antara kelompok suku Tidung dan Bugis di Tarakan bisa dilihat dari sudut pandang demikian. Namun yang lebih penting, sebenarnya konflik ini bukanlah konflik etnis, karena kalau kita telusuri secara lebih mendalam, ia hanyalah efek dari kondisi sosio-ekonomi masyarakat Tarakan yang masih belum stabil. Problem perebutan ‘ruang sosial’ dan sumber-sumber ekonomilah sebenarnya yang menyebabkan mereka mudah tersulut ‘api’.
Agama dan Demokratisasi
Dari ketiga kasus tersebut, menurut penulis, ada satu benang merah yang dapat diambil, yaitu mengenai peranan agama di dalam masyarakat.
Kita tentunya sepakat bahwa semua agama dihadirkan ke muka bumi ini adalah untuk menyebarkan perdamaian dan moralitas luhur kemanusiaan. Manusia, menurut Islam, adalah khalifah yang diberi mandat oleh Allah untuk mengelola alam ini. Sehingga dari sinilah kita bisa melihat tiga dimensi hubungan yang kita jalin, yaitu manusia dengan Tuhan (transendental), manusia dengan sesama manusia lainnya (sosial), dan manusia dengan makhluk lain serta alam yang dia tempati (lingkungan).
Untuk dimensi pertama dapat kita maknai sebagai kesalehan individual, karena hanya berkisar hubungan si hamba dengan Tuhannya. Sedangkan dimensi kedua dan ketiga bisa kita maknai sebagai kesalehan sosial, karena berkaitan dengan relasi kita dengan orang lain, makhluk lain serta lingkungan.
Dalam kenyataannya, masih banyak di antara kaum beragama kita yang masih terlalu menekankan pada kesalehan individual. Mereka lebih menekankan pada aspek ritual seperti shalat, pergi ke gereja, dan sebagainya, daripada memikirkan aspek sosial dan lingkungan seperti persoalan kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, perusakan lingkungan, dan sebagainya. Mereka jarang mau melihat dan mendengar secara langsung dengan hati nurani mereka tentang kondisi masyarakatnya dan kondisi lingkungannya, sehingga bagi mereka yang terpenting adalah ibadah ritual untuk mencapai surga-Nya.
Padahal dalam semua agama, termasuk Islam, kita dapat mencermati bahwa ajaran-ajarannya sangatlah menekankan peranan manusia dalam menciptakan kesejahteraan, kedamaian, dan keserasian kehidupannya. Dan untuk mewujudkan hal demikian tentunya manusia tersebut haruslah benar-benar memahami manusia lainnya, saling mengenal, dan bekerjasama untuk memelihara kehidupan dan lingkungannya.
Dalam konteks Indonesia, kita harus sadar bahwa masih banyak tantangan yang harus kita hadapi untuk mewujudkan demokratisasi sepenuhnya. Rakyat kita masih banyak yang hidup dalam kemiskinan, pengangguran masih tinggi, ancaman disintegrasi bangsa, persoalan perusakan lingkungan hidup, agenda pemberantasan korupsi, dan permasalahan-permasalahan lainnya seharusnya menjadi ‘lahan’ perjuangan (jihad) para agamawan dan kaum beragama kita, sehingga perhatian kita tidak hanya berkisar soal khilafah, perebutan pemeluk agama, pembakaran al-Quran, atau yang semacamnya. Demokratisasi menjadi suatu keniscayaan yang harus diperjuangkan, dan para agamawan serta kaum beragama harus memikirkan kembali perannya di dalam agenda demokratisasi ini.
Membaca Realitas, Memposisikan PMII
PMII sebagai bagian dari masyarakat sipil Indonesia, adalah organisasi kader berbasis agama yang bercita-cita memunculkan kader-kader ulul albab, yang memiliki kesadaran transendental serta kesadaran sosial (sense of social crisis), serta mewujudkan transformasi sosial-demokratik di Indonesia. Oleh karena itu, PMII dituntut untuk melaksanakan pengkaderan secara intensif dan sistematis sesuai dengan nilai-nilai Aswaja dengan paradigma kritis-transformatif, sehingga lahir sosok-sosok intelektual yang concern terhadap realitas sosial serta turut aktif dalam mewujudkan transformasi demokratik di Indonesia. Kita memiliki banyak sarjana dan akademisi, namun jarang di antara mereka yang adalah juga intelektual, khususnya intelektual organik.
Selain itu, PMII juga dituntut untuk terlibat dalam aksi-aksi sosial dalam rangka transformasi sosial, seperti pendidikan kesadaran kritis di masyarakat, kritisisme terhadap kebijakan lokal dan nasional, serta advokasi masyarakat. Yang harus disadari, ini semua haruslah dimaknai sebagai manifestasi kesadaran beragama sebagai hasil dari pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran agama Islam yang rahmatan li al-‘alamin.
Adapun PMII Komisariat Gadjah Mada dituntut mampu memposisikan dirinya di dalam konstelasi sosial dalam lingkup UGM –sebagai basis material pergerakannya- yang notabene adalah kampus kerakyatan. Setidaknya ada 2 tantangan yang harus dihadapi, yaitu fundamentalisme agama dan liberalisasi pendidikan. Yang pertama berkaitan dengan agenda kelompok-kelompok fundamentalis yang berkeinginan menjadikan mahasiswa UGM sebagai kader-kader mereka untuk kepentingan sempit dan politis mereka –dan hal tersebut mengancam pluralitas masyarakat kita, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebijakan struktural negara yang ‘disetir’ oleh kepentingan kapitalisme neoliberal yang ingin menjadikan sektor pendidikan sebagai bisnis jasa pendidikan, bukan sebagai pelayanan publik yang menjadi hak asasi warganegara.
Sebuah harapan besar, lahir dari ‘rahim’ PMII, khususnya PMII Komisariat Gadjah Mada, sosok seperti Gus Dur, Romo Mangun, Mahatma Gandhi, Bunda Theresa, dan Vandana Shiva, yang memiliki keprihatinan sosial dan memanifestasikannya dalam langkah-langkah nyata –dan semua itu tidak terlepas dari penghayatan bahwa agama dapat dan harus berperan sebagai spirit transformasi sosial.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
*Artikel ini pernah disampaikan sebagai bahan diskusi dalam Kajian Pra-MAPABA I PMII Forum Rayon Komisariat Gadjah Mada pada Oktober 2010.
05 February 2011
Pesantren, Seni, dan Tantangan Kebudayaan di Indonesia (1)
Oleh: Mochammad Said(2)
Pesantren, sebagai sebuah entitas, merupakan –sebagaimana dinyatakan oleh Gus Dur- subkultur tersendiri. Artinya, ketika kita memahami pesantren, kita tidak boleh menganggapnya hanya sekedar satu jenis lembaga pendidikan di antara berbagai jenis lembaga pendidikan yang ada. Kenapa? Karena kehidupan di dalam dunia pesantren telah melahirkan reproduksi subkultur tersendiri, yaitu subkultur santri. Subkultur ini dimungkinkan lahir karena adanya sistem pembelajaran yang mengikuti jadwal-jadwal waktu sholat, yang merupakan aplikasi langsung nilai-nilai keagamaan dalam sebuah miniatur sosial bernama pesantren . Begitu pula metode pembelajaran serta nilai-nilai pendidikan yang disosialisasikan dan dikembangkan di dalamnya, telah ikut membentuk apa yang dinamakan subkultur santri tersebut. Sebagai contoh adalah nilai-nilai keislaman moderat, toleran, dan humanis yang diajarkan dan dikembangkan di pesantren yang sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqh sufistik dalam Islam.
Pesantren dan seni
Pengertian tentang seni dalam khazanah pemikiran Islam hingga saat saat ini masih belum bulat. Ada yang mendefinisikan seni Islami sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan konsep tauhid (keesaan Tuhan). Ada juga yang mendefinisikannya sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan ketundukan atau pengabdian kepada Allah. Kedua definisi ini meletakkan seni sebagai karya yang bertendensi normatif. Namun pada kenyataannya, terdapat banyak sekali karya seni yang diciptakan oleh para seniman dalam kerangka kemanusiaan, tetapi tidak terang-terangan menyebutkan tendensi normatif, misalnya Islam, di dalamnya.
Muhammad Abdul Jabbar, sebagaimana dikutip oleh Mulyadi A. Jamalik, dalam buku Seni di Dalam Peradaban Islam (1981: 2-4) mengatakan bahwa kesenian bisa dikatakan sebagai seni Islami apabila hasil karya seni tersebut mengungkapkan pandangan hidup kaum Muslim atau sesuai dengan bayangan ideal seorang Muslim. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa seniman yang menciptakan karya seni Islami tidak harus seorang Muslim. Pendapat Jabbar ini didasarkan pada fakta sejarah perkembangan seni Islam awal abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi, di mana banyak seniman non-Muslim di banyak negara diminta oleh kaum Muslim bekerja sebagai tenaga profesional dalam merancang atau mendirikan bangunan dan pabrik benda-benda seni. Beberapa contoh yang bisa kita ambil adalah bangunan Masjid an-Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah, Masjid Jami’ al-Umawi (Masjid Umayyah) di Damaskus, dan Qubbat al-Sakhra (Kubah Batu) di Yerusalem. Sedangkan di Indonesia, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana arsitektur Menara Kudus, Kudus, Jawa Tengah, dibentuk dengan percampuran simbol Islam dan Hindu (akulturatif). Pada bangunan peninggalan Sunan Kudus itu terdapat tempat bersuci berupa arca berkepala sapi (hewan keramat umat Hindu). Menaranya pun mirip candi, penanda adanya dialog-estetis seni religius. Dan masih banyak contoh lain yang serupa sepanjang sejarah di berbagai negara .
Sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Tohari (1998), seni digunakan oleh komunitas pesantren sebagai media pengajaran sejarah, hukum, etika, moral, kesederhanaan, dan kesalehan hidup. Seni sastra (pantun, syair, gurindam, dan prosa), misalnya, bukanlah barang baru dalam dunia pesantren. Saat ini pun kita dapat melihat bahwa banyak kiai pesantren yang dikenal sebagai seniman nasional Indonesia, seperti K.H. Mustofa Bisri, K.H. D. Zawawi Imron, KH. Maman Imanulhaq, dan Ahmad Tohari. Ada juga seniman nasional Indonesia lulusan pesantren, seperti Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, Ahmad Subhanuddin Alwi, Jamal D. Rahman, Mathori A. Elwa, Nasruddin Anshori, Abidah El-Khalieqy, Binhad Nurrohmat, dan lain-lain yang dapat menjadi sumbu dialog peradaban di luar pesantren.
Oleh karenanya, apabila pesantren menyadari kekayaan khazanah historisnya, maka ia sangat potensial untuk menjadi lokomotif gerakan kesenian Islami, dengan artian bahwa kesenian yang dikembangkan oleh pesantren –yang didasari oleh nilai-nilai substansial Islam tentang kebaikan, perdamaian, humanisme, keadilan, kesejahteraan, dan semacamnya- harus diarahkan pada perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas dan universal. Dengan demikian, pesantren dapat diharapkan sebagai mercusuar peradaban kemanusiaan, baik di Indonesia maupun di dunia.
Pesantren dan tantangan kebudayaan
Sejarah awal mula lahirnya pesantren di Indonesia adalah seiring dengan proses dakwah Islam di bumi Nusantara ini. Kalau kita telusuri secara historis, kita akan mendapati kenyataan bahwa lembaga pendidikan pesantren –seperti diungkapkan oleh Denys Lombard- merupakan lembaga asli Nusantara, bukan lembaga impor. Pesantren hadir sebagai keberlanjutan (continuity) dan modifikasi dari suatu lembaga yang telah hadir sebelumnya. Lombard juga menemukan fakta bahwa di Jawa kuno, terutama masyarakat bagian timur pulau itu, terdapat jenis lembaga pertapaan para resi. Lembaga-lembaga ini dikenal dengan nama dharma, mandala, atau pertapaan, dan lembaga-lembaga tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan struktur pesantren .
Selain itu, kalau kita runut sejarah dakwah Islam di Nusantara, corak Islam yang hadir adalah genre Islam yang –menurut sebutan Gus Dur- berhaluan fiqh sufistik. Yang dimaksud fiqh sufistik di sini adalah bahwa corak tradisi dan genre keilmuan pesantren di Nusantara dalam sejarahnya dipengaruhi oleh setidaknya dua gelombang keilmuan yang datang ke Nusantara. Gelombang pertama terjadi bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi, menghadirkan corak keilmuan Islam dalam bentuk tasawuf yang tentu saja tidak terlepas dari rambu-rambu syariah. Corak keilmuan Islam tersebut sama dengan corak yang dikembangkan di Persia dan anak Benua India yang memang bernuansa sufistik. Oleh karena itu tidak heran bila pada saat itu tasawuf menjadi orientasi yang dominan dari ciri keilmuan pesantren. Kitab-kitab literatur yang menjadi materi pelajaran utama antara lain adalah Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah karya Al-Ghazali.
Sedangkan gelombang kedua terjadi sekitar abad ke-19 dan melahirkan corak keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren. Dengan dibukanya lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau di beberapa daerah, taraf kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Hal ini kemudian mendorong sebagian mereka untuk mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ke Timur Tengah. Pada saat yang sama, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 semakin memperlancar arus transportasi ke negara tujuan, sehingga terjadi massifikasi pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Mekah yang akhirnya berhasil membentuk korp ulama yang demikian solid. Muncullah nama-nama semisal Kiai Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Tremas, Kiai Abdul Gani Bima, Kiai Arsyad Banjarmasin, Kiai Abdus Shamad Palembang, Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, dan sederet nama-nama lain hingga saat ini. Mereka telah membawa warna baru bagi corak keilmuan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqih secara tuntas. Hal ini tampak dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin karya Syekh Arsyad Banjar, Nihayatuz Zain dan Uqudul Lujjain karya Syekh Nawawi Banten, dan semacamnya.
Dalam perjalanannya, corak dakwah Islam ala fiqh sufistik yang demikian membuat Islam sebagai sebuah agama dapat lebih diterima oleh kalangan masyarakat, karena metode dakwah yang digunakan bersifat akulturatif, toleran, dan bahkan eklektik. Hal ini membuat masyarakat lebih mudah menerima dakwah Islam tanpa ada resistensi yang begitu kuat, apalagi dengan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan kesetaraan yang dibawanya.
Oleh karenanya, pesantren-pesantren saat ini, seharusnya tidak melupakan akar historis keberadaannya di bumi Indonesia ini, karena kealpaan akan sejarah eksistensinya akan mengakibatkan kemunduran bagi dirinya sendiri, atau bahkan keterlindasan oleh roda sejarah yang terus berputar. Kesadaran sejarah ini menjadi lebih penting lagi karena saat ini kita berada di zaman yang semakin mengglobal, dengan hadirnya modernitas beserta berbagai eksesnya dan hadirnya berbagai macam kebudayaan asing –entah atas nama kepentingan agama, ekonomi, ataupun politik- yang kalau tidak kita waspadai dapat mengancam identitas kultural dan bahkan identitas nasional masyarakat Indonesia. Inilah tantangan kebudayaan pesantren di Indonesia, dan juga tantangan kita sebagai bangsa Indonesia.
Wallahu a’lam bis shawab.
(1) Tulisan ini dimuat dalam Majalah Sarung Edisi 2 (diterbitkan oleh CSS MoRA UGM).
(2) Mahasiswa PBSB Departemen Agama Fakultas Psikologi UGM (2007). Pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Kesantrian dan Keilmuan CSS MoRA UGM (2009-2010).
Pesantren, sebagai sebuah entitas, merupakan –sebagaimana dinyatakan oleh Gus Dur- subkultur tersendiri. Artinya, ketika kita memahami pesantren, kita tidak boleh menganggapnya hanya sekedar satu jenis lembaga pendidikan di antara berbagai jenis lembaga pendidikan yang ada. Kenapa? Karena kehidupan di dalam dunia pesantren telah melahirkan reproduksi subkultur tersendiri, yaitu subkultur santri. Subkultur ini dimungkinkan lahir karena adanya sistem pembelajaran yang mengikuti jadwal-jadwal waktu sholat, yang merupakan aplikasi langsung nilai-nilai keagamaan dalam sebuah miniatur sosial bernama pesantren . Begitu pula metode pembelajaran serta nilai-nilai pendidikan yang disosialisasikan dan dikembangkan di dalamnya, telah ikut membentuk apa yang dinamakan subkultur santri tersebut. Sebagai contoh adalah nilai-nilai keislaman moderat, toleran, dan humanis yang diajarkan dan dikembangkan di pesantren yang sangat dipengaruhi oleh ajaran fiqh sufistik dalam Islam.
Pesantren dan seni
Pengertian tentang seni dalam khazanah pemikiran Islam hingga saat saat ini masih belum bulat. Ada yang mendefinisikan seni Islami sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan konsep tauhid (keesaan Tuhan). Ada juga yang mendefinisikannya sebagai hasil karya seni yang mengungkapkan ketundukan atau pengabdian kepada Allah. Kedua definisi ini meletakkan seni sebagai karya yang bertendensi normatif. Namun pada kenyataannya, terdapat banyak sekali karya seni yang diciptakan oleh para seniman dalam kerangka kemanusiaan, tetapi tidak terang-terangan menyebutkan tendensi normatif, misalnya Islam, di dalamnya.
Muhammad Abdul Jabbar, sebagaimana dikutip oleh Mulyadi A. Jamalik, dalam buku Seni di Dalam Peradaban Islam (1981: 2-4) mengatakan bahwa kesenian bisa dikatakan sebagai seni Islami apabila hasil karya seni tersebut mengungkapkan pandangan hidup kaum Muslim atau sesuai dengan bayangan ideal seorang Muslim. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa seniman yang menciptakan karya seni Islami tidak harus seorang Muslim. Pendapat Jabbar ini didasarkan pada fakta sejarah perkembangan seni Islam awal abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi, di mana banyak seniman non-Muslim di banyak negara diminta oleh kaum Muslim bekerja sebagai tenaga profesional dalam merancang atau mendirikan bangunan dan pabrik benda-benda seni. Beberapa contoh yang bisa kita ambil adalah bangunan Masjid an-Nabawi (Masjid Nabi) di Madinah, Masjid Jami’ al-Umawi (Masjid Umayyah) di Damaskus, dan Qubbat al-Sakhra (Kubah Batu) di Yerusalem. Sedangkan di Indonesia, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana arsitektur Menara Kudus, Kudus, Jawa Tengah, dibentuk dengan percampuran simbol Islam dan Hindu (akulturatif). Pada bangunan peninggalan Sunan Kudus itu terdapat tempat bersuci berupa arca berkepala sapi (hewan keramat umat Hindu). Menaranya pun mirip candi, penanda adanya dialog-estetis seni religius. Dan masih banyak contoh lain yang serupa sepanjang sejarah di berbagai negara .
Sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Tohari (1998), seni digunakan oleh komunitas pesantren sebagai media pengajaran sejarah, hukum, etika, moral, kesederhanaan, dan kesalehan hidup. Seni sastra (pantun, syair, gurindam, dan prosa), misalnya, bukanlah barang baru dalam dunia pesantren. Saat ini pun kita dapat melihat bahwa banyak kiai pesantren yang dikenal sebagai seniman nasional Indonesia, seperti K.H. Mustofa Bisri, K.H. D. Zawawi Imron, KH. Maman Imanulhaq, dan Ahmad Tohari. Ada juga seniman nasional Indonesia lulusan pesantren, seperti Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, Ahmad Subhanuddin Alwi, Jamal D. Rahman, Mathori A. Elwa, Nasruddin Anshori, Abidah El-Khalieqy, Binhad Nurrohmat, dan lain-lain yang dapat menjadi sumbu dialog peradaban di luar pesantren.
Oleh karenanya, apabila pesantren menyadari kekayaan khazanah historisnya, maka ia sangat potensial untuk menjadi lokomotif gerakan kesenian Islami, dengan artian bahwa kesenian yang dikembangkan oleh pesantren –yang didasari oleh nilai-nilai substansial Islam tentang kebaikan, perdamaian, humanisme, keadilan, kesejahteraan, dan semacamnya- harus diarahkan pada perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas dan universal. Dengan demikian, pesantren dapat diharapkan sebagai mercusuar peradaban kemanusiaan, baik di Indonesia maupun di dunia.
Pesantren dan tantangan kebudayaan
Sejarah awal mula lahirnya pesantren di Indonesia adalah seiring dengan proses dakwah Islam di bumi Nusantara ini. Kalau kita telusuri secara historis, kita akan mendapati kenyataan bahwa lembaga pendidikan pesantren –seperti diungkapkan oleh Denys Lombard- merupakan lembaga asli Nusantara, bukan lembaga impor. Pesantren hadir sebagai keberlanjutan (continuity) dan modifikasi dari suatu lembaga yang telah hadir sebelumnya. Lombard juga menemukan fakta bahwa di Jawa kuno, terutama masyarakat bagian timur pulau itu, terdapat jenis lembaga pertapaan para resi. Lembaga-lembaga ini dikenal dengan nama dharma, mandala, atau pertapaan, dan lembaga-lembaga tersebut ternyata memiliki kemiripan dengan struktur pesantren .
Selain itu, kalau kita runut sejarah dakwah Islam di Nusantara, corak Islam yang hadir adalah genre Islam yang –menurut sebutan Gus Dur- berhaluan fiqh sufistik. Yang dimaksud fiqh sufistik di sini adalah bahwa corak tradisi dan genre keilmuan pesantren di Nusantara dalam sejarahnya dipengaruhi oleh setidaknya dua gelombang keilmuan yang datang ke Nusantara. Gelombang pertama terjadi bersamaan dengan masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi, menghadirkan corak keilmuan Islam dalam bentuk tasawuf yang tentu saja tidak terlepas dari rambu-rambu syariah. Corak keilmuan Islam tersebut sama dengan corak yang dikembangkan di Persia dan anak Benua India yang memang bernuansa sufistik. Oleh karena itu tidak heran bila pada saat itu tasawuf menjadi orientasi yang dominan dari ciri keilmuan pesantren. Kitab-kitab literatur yang menjadi materi pelajaran utama antara lain adalah Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah karya Al-Ghazali.
Sedangkan gelombang kedua terjadi sekitar abad ke-19 dan melahirkan corak keilmuan baru bagi tradisi keilmuan pesantren. Dengan dibukanya lahan perkebunan tebu, kopi, dan tembakau di beberapa daerah, taraf kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Hal ini kemudian mendorong sebagian mereka untuk mengirimkan anak-anaknya untuk belajar ke Timur Tengah. Pada saat yang sama, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 semakin memperlancar arus transportasi ke negara tujuan, sehingga terjadi massifikasi pengiriman anak-anak muda untuk mendalami keilmuan keislaman di Mekah yang akhirnya berhasil membentuk korp ulama yang demikian solid. Muncullah nama-nama semisal Kiai Nawawi Banten, Kyai Mahfudz Tremas, Kiai Abdul Gani Bima, Kiai Arsyad Banjarmasin, Kiai Abdus Shamad Palembang, Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari, dan sederet nama-nama lain hingga saat ini. Mereka telah membawa warna baru bagi corak keilmuan pesantren, yaitu pendalaman ilmu fiqih secara tuntas. Hal ini tampak dari karya-karya mereka seperti Sabilal Muhtadin karya Syekh Arsyad Banjar, Nihayatuz Zain dan Uqudul Lujjain karya Syekh Nawawi Banten, dan semacamnya.
Dalam perjalanannya, corak dakwah Islam ala fiqh sufistik yang demikian membuat Islam sebagai sebuah agama dapat lebih diterima oleh kalangan masyarakat, karena metode dakwah yang digunakan bersifat akulturatif, toleran, dan bahkan eklektik. Hal ini membuat masyarakat lebih mudah menerima dakwah Islam tanpa ada resistensi yang begitu kuat, apalagi dengan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan kesetaraan yang dibawanya.
Oleh karenanya, pesantren-pesantren saat ini, seharusnya tidak melupakan akar historis keberadaannya di bumi Indonesia ini, karena kealpaan akan sejarah eksistensinya akan mengakibatkan kemunduran bagi dirinya sendiri, atau bahkan keterlindasan oleh roda sejarah yang terus berputar. Kesadaran sejarah ini menjadi lebih penting lagi karena saat ini kita berada di zaman yang semakin mengglobal, dengan hadirnya modernitas beserta berbagai eksesnya dan hadirnya berbagai macam kebudayaan asing –entah atas nama kepentingan agama, ekonomi, ataupun politik- yang kalau tidak kita waspadai dapat mengancam identitas kultural dan bahkan identitas nasional masyarakat Indonesia. Inilah tantangan kebudayaan pesantren di Indonesia, dan juga tantangan kita sebagai bangsa Indonesia.
Wallahu a’lam bis shawab.
(1) Tulisan ini dimuat dalam Majalah Sarung Edisi 2 (diterbitkan oleh CSS MoRA UGM).
(2) Mahasiswa PBSB Departemen Agama Fakultas Psikologi UGM (2007). Pernah menjabat sebagai Kepala Departemen Kesantrian dan Keilmuan CSS MoRA UGM (2009-2010).
20 January 2011
UGM Dari Masa Ke Masa: Narasi Sebuah Kampus*
Oleh: Mochammad Said
UGM Tempo Dulu
UGM, atau singkatan dari Universitas Gadjah Mada, merupakan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kelahirannya pun sungguh unik, berbeda dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi lainnya di tanah air. Kenapa? Karena kelahirannya diprakarsai oleh banyak tokoh nasional dan intelektual tanah air saat itu, seperti Ki Hadjar Dewantara, Sultan Hamengkubuwono IX, Pakualam VIII, Prof. Yohannes, Prof. Ir. Rooseno, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Budiarto, Prof. Sunaryo, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa UGM merupakan perguruan tinggi terkemuka, bersejarah, dan penuh perjuangan.
Kalau kita runut secara kronologis, sejarah berdirinya UGM sangatlah panjang dan penuh dinamika. Semua berawal dari sebuah pertemuan yang diadakan di Sekolah Menengah Tinggi (SMT, sekarang SMA Negeri III Padmanaba) Kotabaru pada 20 Januari 1946 (20 hari setelah ibukota pindah ke Yogyakarta). Agenda yang dibahas dalam pertemuan itu adalah kemungkinan untuk mendirikan Balai Perguruan Tinggi (Universiteit) di Yogyakarta. Yang menjadi promotornya adalah Mr. Budiarto, Ir. Marsito, Dr. Priyono, dan Mr. Sunaryo. Kenapa di Yogyakarta? Karena menurut Mr. Sunaryo, kalau kita ingin mendirikan universiteit, tempatnya tidaklah di Jakarta, karena Jakarta memiliki atmosfer internasional, sedangkan keinginan kita adalah mendirikan sebuah Universiteit Nasional.
Dalam pertemuan itu diputuskan untuk membentuk panitia yang bertugas merancang pendirian perguruan tinggi di Yogyakarta. Panitia terdiri dari 32 orang dengan ketua Ki Hadjar Dewantara, Penulis I Mr. Sunaryo, dan Penulis II Drs. Darmoseputro. Dan untuk lebih memudahkan kinerja, dalam kepanitiaan itu dibentuk lagi Panitia Kecil yang terdiri dari 11 orang.
Dalam setiap rapatnya, Panitia Kecil merundingkan berbagai hal terkait tujuan mereka untuk mendirikan Universitas Nasional. Putusan-putusannya kemudian diajukan dalam rapat-rapat Panitia Besar untuk mendapatkan persetujuan. Salah satu putusan akhirnya adalah digantinya kata “Universiteit” dengan “Balai Perguruan Tinggi”. Mr. Budiarto mengusulkan agar nama Balai Perguruan Tinggi ditambahi kata Gadjah Mada. Anggota panitia lain pun menyetujuinya. Dan berdirilah Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada 17 Februari 1946, di mana tanggal ini ditetapkan sebagai hari berdirinya. Peresmiannya dilaksanakan pada 3 Maret 1946 di Gedung KNI Jalan Malioboro (sekarang Gedung DPRD). Kuliah pertama dilaksanakan pada 18 Maret 1946. Faculteit yang ada waktu itu adalah Faculteit Hukum dan Faculteit Kesusasteraan. Mengapa Gadjah Mada? Karena para founding fathers UGM secara simbolik ingin menunjukkan bahwa rakyat jelata sebagaimana dipersonifikasikan oleh tokoh Gadjah Mada dengan ketajaman visi, keluasan pandangan, keprihatinan, kesabaran, ketelatenan, serta spirit perjuangannya demi bangsa dan negara yang tak kenal lelah ternyata mampu memberikan jasa yang besar bagi nusa dan bangsa dan mengharumkan namanya, bahkan mengalahkan pamor rajanya. Hal inilah yang secara implisit ingin diharapkan oleh para founding fathers bahwa UGM menghargai seseorang karena prestasi dan kerja kerasnya, bukan karena keturunan atau latar belakang budaya, UGM merupakan universitas yang merakyat, bukan universitas elitis.
Seiring berjalannya waktu, dan setelah mengalami berbagai dinamika zaman, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 1949 tertanggal 16 Desember 1949 yang berisi tentang penggabungan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Preklinis, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Klinis, Fakultas Farmasi dan Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Gigi dan Kedokteran Hewan, Akademi Ilmu Politik, dan Balai Pendidikan Ahli Hukum menjadi sebuah universitas yang bernama Universitas Gadjah Mada. Peresmiannya dilaksanakan pada 19 Desember 1949, di mana tanggal ini menjadi tonggak pertama kali berdirinya Perguruan Tinggi Nasional di negara Republik Indonesia.
Dari rangkaian sejarah berdirinya UGM di atas kita dapat melihat bahwa UGM merupakan universitas perjuangan dan universitas kerakyatan, karena para pendiri, dosen, dan mahasiswanya ketika itu adalah juga para pejuang kemerdekaan Indonesia. Bung Karno sendiri pernah berkata ketika meresmikan Gedung Pusat UGM di Bulaksumur: “…saya menegaskan bahwa gedung ini didirikan dengan uang rakyat, thus, sebenarnya milik rakyat, dan untuk rakyat”.
UGM Kini: Sebuah Metamorfosis
Pada tahun 2000, UGM ditetapkan sebagai PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) berdasarkan PP 153 tahun 2000 (tentang PT BHMN). Sejak saat itulah biaya pendidikan di UGM menjadi semakin mahal, karena subsidi dari pemerintah semakin berkurang, sehingga UGM ‘terpaksa’ harus membebankan biaya pendidikan itu kepada mahasiswa. Sehingga komponen biaya pendidikan di UGM yang awalnya hanya terdiri dari SPP dan sumbangan POTMA (Persatuan Orang Tua Mahasiswa) yang tidak bersifat mengikat dengan total biaya sekitar Rp. 500.000,00, kemudian terdapat kenaikan biaya pada tahun 2002 dengan ditetapkannya tambahan komponen biaya pendidikan mahasiswa berupa Satuan Kredit Semester (SKS) sebesar Rp. 35.000,00 tiap SKS. Meskipun demikian, masih ada beberapa fakultas yang menggunakan sistem paket dengan biaya per semester sebesar Rp. 750.000,00 berapapun SKS yang ditempuh atau diambil.
Kemudian pada tahun 2003 mulai ditetapkan adanya kewajiban membayar Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bervariasi mulai dari Rp. 0,00, Rp. 5.000.000,00, hingga ratusan juta rupiah. Pada tahun 2004 ditetapkan BOP Variabel per-SKS bagi seluruh fakultas; untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00, dengan ketentuan bahwa biaya yang dibayarkan disesuaikan dengan jumlah SKS yang diambil apabila di bawah 18 SKS, sedangkan apabila SKS yang diambil di atas 18 SKS, maka biaya yang dibayarkan sama dengan biaya 18 SKS. Kemudian pada tahun 2006 BOP Variabel diganti dengan BOP Full Variabel yang berlaku hingga sekarang, yaitu untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00 per SKS, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00 per SKS.
Komponen biaya SPMA pun setiap tahun mengalami kenaikan. Pada awal tahun 2003 mahasiswa masih bisa memilih Rp. 0,00 SPMA, namun pada tahun berikutnya Rp. 0,00 SPMA ini berubah menjadi tanda bintang (*). Hal ini membuat mahasiswa berpikir seribu kali untuk masuk UGM karena kesulitan untuk membayar biaya masuk UGM yang melambung tinggi. Bahkan pada tahun 2007 pilihan Rp. 0,00 SPMA (*) ditiadakan dan diganti dengan beasiswa 1000 SPMA yang memiliki kuota 1000 mahasiswa.
Perubahan status UGM dan kenaikan biaya pendidikan di atas menimbulkan banyak kritik dan sindiran dari banyak kalangan. UGM yang seharusnya mampu memberikan akses pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat ternyata semakin tidak peduli dengan aksesibilitas rakyat menengah ke bawah. Negara pun tidak lepas dari kritik, karena dianggap telah menelantarkan masa depan anak bangsa dengan melepaskan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk memberikan hak pendidikan dan pengajaran kepada setiap warga negaranya.
Akankah UGM tetap menjadi ’universitas kerakyatan’ dan ’universitas perjuangan’? Atau ia akan berubah mengikuti arus globalisasi dengan narasi kapitalisme yang semakin merajalela menindas dan berusaha menggilas siapapun yang tidak ’bermodal’?
Wallahua’lam.
______________________________________________
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin Dialektika Edisi 4 (diterbitkan oleh PMII Rayon Sosio Humaniora Komisariat Gadjah Mada).
UGM Tempo Dulu
UGM, atau singkatan dari Universitas Gadjah Mada, merupakan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kelahirannya pun sungguh unik, berbeda dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi lainnya di tanah air. Kenapa? Karena kelahirannya diprakarsai oleh banyak tokoh nasional dan intelektual tanah air saat itu, seperti Ki Hadjar Dewantara, Sultan Hamengkubuwono IX, Pakualam VIII, Prof. Yohannes, Prof. Ir. Rooseno, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Budiarto, Prof. Sunaryo, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa UGM merupakan perguruan tinggi terkemuka, bersejarah, dan penuh perjuangan.
Kalau kita runut secara kronologis, sejarah berdirinya UGM sangatlah panjang dan penuh dinamika. Semua berawal dari sebuah pertemuan yang diadakan di Sekolah Menengah Tinggi (SMT, sekarang SMA Negeri III Padmanaba) Kotabaru pada 20 Januari 1946 (20 hari setelah ibukota pindah ke Yogyakarta). Agenda yang dibahas dalam pertemuan itu adalah kemungkinan untuk mendirikan Balai Perguruan Tinggi (Universiteit) di Yogyakarta. Yang menjadi promotornya adalah Mr. Budiarto, Ir. Marsito, Dr. Priyono, dan Mr. Sunaryo. Kenapa di Yogyakarta? Karena menurut Mr. Sunaryo, kalau kita ingin mendirikan universiteit, tempatnya tidaklah di Jakarta, karena Jakarta memiliki atmosfer internasional, sedangkan keinginan kita adalah mendirikan sebuah Universiteit Nasional.
Dalam pertemuan itu diputuskan untuk membentuk panitia yang bertugas merancang pendirian perguruan tinggi di Yogyakarta. Panitia terdiri dari 32 orang dengan ketua Ki Hadjar Dewantara, Penulis I Mr. Sunaryo, dan Penulis II Drs. Darmoseputro. Dan untuk lebih memudahkan kinerja, dalam kepanitiaan itu dibentuk lagi Panitia Kecil yang terdiri dari 11 orang.
Dalam setiap rapatnya, Panitia Kecil merundingkan berbagai hal terkait tujuan mereka untuk mendirikan Universitas Nasional. Putusan-putusannya kemudian diajukan dalam rapat-rapat Panitia Besar untuk mendapatkan persetujuan. Salah satu putusan akhirnya adalah digantinya kata “Universiteit” dengan “Balai Perguruan Tinggi”. Mr. Budiarto mengusulkan agar nama Balai Perguruan Tinggi ditambahi kata Gadjah Mada. Anggota panitia lain pun menyetujuinya. Dan berdirilah Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada 17 Februari 1946, di mana tanggal ini ditetapkan sebagai hari berdirinya. Peresmiannya dilaksanakan pada 3 Maret 1946 di Gedung KNI Jalan Malioboro (sekarang Gedung DPRD). Kuliah pertama dilaksanakan pada 18 Maret 1946. Faculteit yang ada waktu itu adalah Faculteit Hukum dan Faculteit Kesusasteraan. Mengapa Gadjah Mada? Karena para founding fathers UGM secara simbolik ingin menunjukkan bahwa rakyat jelata sebagaimana dipersonifikasikan oleh tokoh Gadjah Mada dengan ketajaman visi, keluasan pandangan, keprihatinan, kesabaran, ketelatenan, serta spirit perjuangannya demi bangsa dan negara yang tak kenal lelah ternyata mampu memberikan jasa yang besar bagi nusa dan bangsa dan mengharumkan namanya, bahkan mengalahkan pamor rajanya. Hal inilah yang secara implisit ingin diharapkan oleh para founding fathers bahwa UGM menghargai seseorang karena prestasi dan kerja kerasnya, bukan karena keturunan atau latar belakang budaya, UGM merupakan universitas yang merakyat, bukan universitas elitis.
Seiring berjalannya waktu, dan setelah mengalami berbagai dinamika zaman, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 1949 tertanggal 16 Desember 1949 yang berisi tentang penggabungan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Preklinis, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Klinis, Fakultas Farmasi dan Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Gigi dan Kedokteran Hewan, Akademi Ilmu Politik, dan Balai Pendidikan Ahli Hukum menjadi sebuah universitas yang bernama Universitas Gadjah Mada. Peresmiannya dilaksanakan pada 19 Desember 1949, di mana tanggal ini menjadi tonggak pertama kali berdirinya Perguruan Tinggi Nasional di negara Republik Indonesia.
Dari rangkaian sejarah berdirinya UGM di atas kita dapat melihat bahwa UGM merupakan universitas perjuangan dan universitas kerakyatan, karena para pendiri, dosen, dan mahasiswanya ketika itu adalah juga para pejuang kemerdekaan Indonesia. Bung Karno sendiri pernah berkata ketika meresmikan Gedung Pusat UGM di Bulaksumur: “…saya menegaskan bahwa gedung ini didirikan dengan uang rakyat, thus, sebenarnya milik rakyat, dan untuk rakyat”.
UGM Kini: Sebuah Metamorfosis
Pada tahun 2000, UGM ditetapkan sebagai PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) berdasarkan PP 153 tahun 2000 (tentang PT BHMN). Sejak saat itulah biaya pendidikan di UGM menjadi semakin mahal, karena subsidi dari pemerintah semakin berkurang, sehingga UGM ‘terpaksa’ harus membebankan biaya pendidikan itu kepada mahasiswa. Sehingga komponen biaya pendidikan di UGM yang awalnya hanya terdiri dari SPP dan sumbangan POTMA (Persatuan Orang Tua Mahasiswa) yang tidak bersifat mengikat dengan total biaya sekitar Rp. 500.000,00, kemudian terdapat kenaikan biaya pada tahun 2002 dengan ditetapkannya tambahan komponen biaya pendidikan mahasiswa berupa Satuan Kredit Semester (SKS) sebesar Rp. 35.000,00 tiap SKS. Meskipun demikian, masih ada beberapa fakultas yang menggunakan sistem paket dengan biaya per semester sebesar Rp. 750.000,00 berapapun SKS yang ditempuh atau diambil.
Kemudian pada tahun 2003 mulai ditetapkan adanya kewajiban membayar Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bervariasi mulai dari Rp. 0,00, Rp. 5.000.000,00, hingga ratusan juta rupiah. Pada tahun 2004 ditetapkan BOP Variabel per-SKS bagi seluruh fakultas; untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00, dengan ketentuan bahwa biaya yang dibayarkan disesuaikan dengan jumlah SKS yang diambil apabila di bawah 18 SKS, sedangkan apabila SKS yang diambil di atas 18 SKS, maka biaya yang dibayarkan sama dengan biaya 18 SKS. Kemudian pada tahun 2006 BOP Variabel diganti dengan BOP Full Variabel yang berlaku hingga sekarang, yaitu untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00 per SKS, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00 per SKS.
Komponen biaya SPMA pun setiap tahun mengalami kenaikan. Pada awal tahun 2003 mahasiswa masih bisa memilih Rp. 0,00 SPMA, namun pada tahun berikutnya Rp. 0,00 SPMA ini berubah menjadi tanda bintang (*). Hal ini membuat mahasiswa berpikir seribu kali untuk masuk UGM karena kesulitan untuk membayar biaya masuk UGM yang melambung tinggi. Bahkan pada tahun 2007 pilihan Rp. 0,00 SPMA (*) ditiadakan dan diganti dengan beasiswa 1000 SPMA yang memiliki kuota 1000 mahasiswa.
Perubahan status UGM dan kenaikan biaya pendidikan di atas menimbulkan banyak kritik dan sindiran dari banyak kalangan. UGM yang seharusnya mampu memberikan akses pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat ternyata semakin tidak peduli dengan aksesibilitas rakyat menengah ke bawah. Negara pun tidak lepas dari kritik, karena dianggap telah menelantarkan masa depan anak bangsa dengan melepaskan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk memberikan hak pendidikan dan pengajaran kepada setiap warga negaranya.
Akankah UGM tetap menjadi ’universitas kerakyatan’ dan ’universitas perjuangan’? Atau ia akan berubah mengikuti arus globalisasi dengan narasi kapitalisme yang semakin merajalela menindas dan berusaha menggilas siapapun yang tidak ’bermodal’?
Wallahua’lam.
______________________________________________
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin Dialektika Edisi 4 (diterbitkan oleh PMII Rayon Sosio Humaniora Komisariat Gadjah Mada).
Subscribe to:
Posts (Atom)