01 December 2008
UGM, Pembiayaan Pendidikan, dan Beasiswa: Antara Idealita dan Realita
Adapun ungkapan memberatkan dimaksudkan sebagai ekses negatif penetapan PT BHMN oleh pemerintah di atas terhadap mahasiswa. Kenapa? Karena perubahan status UGM tersebut telah mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan di UGM, dan ternyata mau tidak mau UGM harus membebankan mahalnya biaya pendidikan itu kepada para mahasiswa. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kritik dan protes dari banyak kalangan, baik masyarakat, akademisi, dosen, dan bahkan mahasiswa sendiri.
Beasiswa di UGM yang jumlahnya sangat banyak dan bervariasi juga mengundang berbagai kritik, karena dalam prakteknya masih jauh dari ideal. Beasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa kurang mampu ternyata semakin berkurang ‘jatahnya’. SPMA misalnya, awalnya berupa pembebasan SPMA (SPMA 0) kemudian menjadi beasiswa 1000 SPMA. Beasiswa-beasiswa lain juga banyak mengundang kritik, seperti beasiswa BOP yang seharusnya diperuntukkan bagi setiap mahasiswa yang kurang mampu ternyata kemudian berubah menjadi beasiswa ‘prestasi’, karena mensyaratkan juga jumlah IP minimal dengan standar tinggi. Selain itu, kelambanan birokrasi juga menjadi sorotan mahasiswa karena seringkali membuat beasiswa telat dalam pengumuman penetapan penerimanya.
Tidak adanya transparansi dalam pengelolaan biaya pendidikan di UGM juga menimbulkan kecurigaan di benak banyak kalangan, karena UGM yang seharusnya mampu menerapkan prinsip good university governance ternyata masih belum menunjukkan niat baiknya untuk melaksanakan transparansi keuangan sebagai salah satu manifestasi dari prinsip good university governance tersebut. Belum lagi dengan tuntutan transparansi kebijakan. Dalam sebuah tata pemerintahan yang baik, sang pemegang kebijakan harusnya mampu memberikan kebijakan yang transparan. Transparan dalam arti siap untuk dikritisi, dibenahi, dan bila perlu diganti apabila kebijakan tersebut tidak sesuai dengan aspirasi stakeholders. Dalam kenyataannya, UGM masih menutup diri terhadap kritik, bersikap arogan, tidak mau dipersalahkan. Usulan dari berbagai pihak, khususnya mahasiswa, untuk tidak menaikkan SPMA dan menambah subsidi bagi mahasiswa yang tidak mampu ternyata tidak digubris dan hanya dianggap angin lalu.
Sungguh mengecewakan.
Kalau demikian yang terjadi, di manakah letak sisi kerakyatan dari UGM itu sendiri? Atau, dengan nada lain, masih pantaskah UGM menyandang gelar ‘kampus kerakyatan’ atau ‘kampus perjuangan’?
Tantangan Menuju Kampus Ideal: UGM dan Problem Masyarakat Indonesia Kontemporer
UGM, atau singkatan dari Universitas Gadjah Mada, merupakan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kelahirannya pun sungguh unik, berbeda dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi lainnya di tanah air. Kenapa? Karena kelahirannya diprakarsai oleh banyak tokoh nasional dan intelektual tanah air saat itu, seperti Ki Hadjar Dewantara, Sultan Hamengkubuwono IX, Pakualam VIII, Prof. Yohannes, Prof. Ir. Rooseno, Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Budiarto, Prof. Sunaryo, dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan bahwa UGM merupakan perguruan tinggi terkemuka, bersejarah, dan penuh perjuangan.
Kalau kita runut secara kronologis, sejarah berdirinya UGM sangatlah panjang dan penuh dinamika. Semua berawal dari sebuah pertemuan yang diadakan di Sekolah Menengah Tinggi (SMT, sekarang SMA Negeri III Padmanaba) Kotabaru pada 20 Januari 1946 (20 hari setelah ibukota pindah ke Yogyakarta). Agenda yang dibahas dalam pertemuan itu adalah kemungkinan untuk mendirikan Balai Perguruan Tinggi (Universiteit) di Yogyakarta. Yang menjadi promotornya adalah Mr. Budiarto, Ir. Marsito, Dr. Priyono, dan Mr. Sunaryo. Kenapa di Yogyakarta? Karena menurut Mr. Sunaryo, kalau kita ingin mendirikan universiteit, tempatnya tidaklah di Jakarta, karena Jakarta memiliki atmosfer internasional, sedangkan keinginan kita adalah mendirikan sebuah Universiteit Nasional.
Dalam pertemuan itu diputuskan untuk membentuk panitia yang bertugas merancang pendirian perguruan tinggi di Yogyakarta. Panitia terdiri dari 32 orang dengan ketua Ki Hadjar Dewantara, Penulis I Mr. Sunaryo, dan Penulis II Drs. Darmoseputro. Dan untuk lebih memudahkan kinerja, dalam kepanitiaan itu dibentuk lagi Panitia Kecil yang terdiri dari 11 orang.
Dalam setiap rapatnya, Panitia Kecil merundingkan berbagai hal terkait tujuan mereka untuk mendirikan Universitas Nasional. Putusan-putusannya kemudian diajukan dalam rapat-rapat Panitia Besar untuk mendapatkan persetujuan. Salah satu putusan akhirnya adalah digantinya kata “Universiteit” dengan “Balai Perguruan Tinggi”. Mr. Budiarto mengusulkan agar nama Balai Perguruan Tinggi ditambahi kata Gadjah Mada. Anggota panitia lain pun menyetujuinya. Dan berdirilah Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada pada 17 Februari 1946, di mana tanggal ini ditetapkan sebagai hari berdirinya. Peresmiannya dilaksanakan pada 3 Maret 1946 di Gedung KNI Jalan Malioboro (sekarang Gedung DPRD). Kuliah pertama dilaksanakan pada 18 Maret 1946. Faculteit yang ada waktu itu adalah Faculteit Hukum dan Faculteit Kesusasteraan.
Seiring berjalannya waktu, dan setelah mengalami berbagai dinamika zaman, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 1949 tertanggal 16 Desember 1949 yang berisi tentang penggabungan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, Sekolah Tinggi Teknik, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Preklinis, Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Klinis, Fakultas Farmasi dan Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Gigi dan Kedokteran Hewan, Akademi Ilmu Politik, dan Balai Pendidikan Ahli Hukum menjadi sebuah universitas yang bernama Universitas Gadjah Mada. Peresmiannya dilaksanakan pada 19 Desember 1949, di mana tanggal ini menjadi tonggak pertama kali berdirinya Perguruan Tinggi Nasional di negara Republik Indonesia.
Dari rangkaian sejarah berdirinya UGM di atas kita dapat melihat bahwa UGM merupakan universitas perjuangan dan universitas kerakyatan, karena para pendiri, dosen, dan mahasiswanya ketika itu adalah juga para pejuang kemerdekaan Indonesia. Bung Karno sendiri pernah berkata ketika meresmikan Gedung Pusat UGM di Bulaksumur: “…saya menegaskan bahwa gedung ini didirikan dengan uang rakyat, thus, sebenarnya milik rakyat, dan untuk rakyat”. (Soekarno, 1959, dalam Mubyarto, 2005: 4, dalam Santoso, 2008: 7).
UGM Kini: Sebuah Metamorfosis
Pada tahun 2000, UGM ditetapkan sebagai PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) berdasarkan PP 153 tahun 2000 (tentang PT BHMN). Sejak saat itulah biaya pendidikan di UGM menjadi semakin mahal, karena subsidi dari pemerintah semakin berkuang, sehingga UGM ‘terpaksa’ harus membebankan biaya pendidikan itu kepada mahasiswa. Sehingga komponen biaya pendidikan di UGM yang awalnya hanya terdiri dari SPP dan sumbangan POTMA (Persatuan Orang Tua Mahasiswa) yang tidak bersifat mengikat dengan total biaya sekitar Rp. 500.000,00, kemudian terdapat kenaikan biaya pada tahun 2002 dengan ditetapkannya tambahan komponen biaya pendidikan mahasiswa berupa Satuan Kredit Semester (SKS) sebesar Rp. 35.000,00 tiap SKS. Meskipun demikian, masih ada beberapa fakultas yang menggunakan sistem paket dengan biaya per semester sebesar Rp. 750.000,00 berapapun SKS yang ditempuh atau diambil.
Kemudian pada tahun 2003 mulai ditetapkan adanya kewajiban membayar Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) yang besarnya bervariasi mulai dari Rp. 0,00, Rp. 5.000.000,00, hingga ratusan juta rupiah. Pada tahun 2004 ditetapkan BOP Variabel per-SKS bagi seluruh fakultas; untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00, dengan ketentuan bahwa biaya yang dibayarkan disesuaikan dengan jumlah SKS yang diambil apabila di bawah 18 SKS, sedangkan apabila SKS yang diambil di atas 18 SKS, maka biaya yang dibayarkan sama dengan biaya 18 SKS. Kemudian pada tahun 2006 BOP Variabel diganti dengan BOP Full Variabel yang berlaku hingga sekarang, yaitu untuk fakultas-fakultas bidang eksakta Rp. 75.000,00 per SKS, sedangkan untuk fakultas-fakultas bidang non-eksakta Rp. 60.000,00 per SKS.
Komponen biaya SPMA pun setiap tahun mengalami kenaikan. Pada awal tahun 2003 mahasiswa masih bisa memilih Rp. 0,00 SPMA, namun pada tahun berikutnya Rp. 0,00 SPMA ini berubah menjadi tanda bintang (*). Hal ini membuat mahasiswa berpikir seribu kali untuk masuk UGM karena kesulitan untuk membayar biaya masuk UGM yang melambung tinggi. Bahkan pada tahun 2007 pilihan Rp. 0,00 SPMA (*) ditiadakan dan diganti dengan beasiswa 1000 SPMA yang memiliki kuota 1000 mahasiswa.
Perubahan status UGM dan kenaikan biaya pendidikan di atas menimbulkan banyak kritik dan sindiran dari banyak kalangan. UGM yang seharusnya mampu memberikan akses pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat ternyata semakin tidak peduli dengan aksesibilitas rakyat menengah ke bawah. Negara pun tidak lepas dari kritik, karena dianggap telah menelantarkan masa depan anak bangsa dengan melepaskan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk memberikan hak pendidikan dan pengajaran kepada setiap warga negaranya.
Masyarakat Indonesia Kontemporer
Sejak bergulirnya reformasi, kita bangsa Indonesia mulai merasakan apa yang disebut dengan demokrasi, setelah kurang lebih 32 tahun dikungkung oleh represi Orde Baru. Kita pun dihadapkan dengan globalisasi, sebuah era di mana batas-batas antar negara semakin kabur, dan kompetisi antar bangsa semakin besar. Rakyat Indonesia dituntut untuk mampu bersaing dengan rakyat di negara lain di segala bidang. Keahlian dan kemampuan dalam bekerja harus diramu dengan baik agar mampu menjadi modal bagi masa depan, sehingga tidak ketinggalan zaman dan kalah bersaing.
Era globalisasi yang bagi sebagian orang dianggap sebagai keniscayaan dan bahkan merupakan hal yang positif ternyata menimbulkan berbagai problem di masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya jurang kemiskinan, kerusakan ekosistem yang semakin parah, semakin hilangnya tanggung jawab negara terhadap rakyatnya, pengikisan terhadap budaya lokal, dan sebagainya.
Selain permasalahan-permasalahan yang merupakan efek globalisasi, bangsa Indonesia juga dihadapkan dengan problem-problem lainnya, seperti tingginya tingkat korupsi, rendahnya jiwa kepemimpinan para elit politik, interaksi antar agama yang rawan konflik, otonomi daerah, tingkat pendidikan yang masih jauh dari ideal, dan sebagainya.
Begitu banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia saat ini dan harus segera dicarikan solusi terbaiknya. Kita sudah 63 tahun merdeka, namun belum juga menikmati kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Kita hanya merdeka dalam arti fisik, yaitu merdeka dari penjajahan fisik. Sedangkan sejak kemerdekaan fisik hingga sekarang, kita masih belum mampu menjadi bangsa yang sejahtera, adil, damai, dan makmur. Padahal, negara kita kaya akan sumber daya alam, memiliki sumber daya manusia yang banyak, memiliki kekayaan tradisi, adat, budaya, dan agama yang beraneka ragam.
UGM dan Idealitas Pendidikan
UGM sebagai universitas perjuangan dan universitas kerakyatan sudah tentu harus memiliki idealisme tinggi. Idealisme tinggi itu sebenarnya sudah tertanam dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Kalau kita cermati, ketiga dharma itu sudah sesuai dengan cita-cita, tujuan, dan idealisme pendidikan. Paulo Freire, seorang pendidik asal Brasil, mengemukakan bahwa pendidikan haruslah bertujuan untuk memanusiakan manusia dan membebaskannya dari belenggu kebodohan. Atau kalau diringkas menjadi prinsip humanisasi (memanusiakan) dan liberasi (membebaskan).
Menurut Paulo Freire, dalam proses pendidikan, seorang murid haruslah dipandang sebagai seorang manusia utuh dengan segala potensi positif dan kekayaan pengalamannya, bukan sebagai orang bisu, bodoh, dan karenanya harus ‘diisi’ dengan hal-hal yang benar menurut sang guru. Kenapa? Karena kalau kita berpikir bahwa guru tahu segalanya dan murid bodoh sama sekali, maka itu berarti kita tidak menganggap mereka sebagai manusia secara historis. Justru dari pengalaman serta kondisi yang mereka alami itulah seharusnya kita mencari, meneliti, dan memberikan sesuatu yang sifatnya membebaskan dan memanusiakan untuk kelangsungan masa depan mereka. Membebaskan dalam arti bahwa setelah mendapatkan pendidikan dan pengajaran mereka mampu tampil sebagai manusia yang memiliki pemikiran kritis, sadar akan potensi dan kekuatan dirinya, serta mampu melakukan inovasi dan transoformasi sosial bagi diri mereka sendiri dan masyarakat sekitarnya. Memanusiakan dalam arti bahwa mereka memiliki rasa kemanusiaan, kepedulian terhadap sesama, solidaritas sosial, toleransi, dan bermoral.
Pendidikan harus dimaknai sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial, dan oleh karenanya harus memiliki perspektif tertentu, yaitu perspektif kritis-transformatif. Jangan sampai pendidikan itu justru membuat murid terasing dari realitas, apatis terhadap problem masyarakat di sekitarnya, bahkan berjiwa borjuis dan menjadi penindas bagi sesamanya. Kalau demikian yang terjadi, itu berarti pendidikan kehilangan ruhnya dan menyeleweng dari hakikat dan tujuannya yang sebenarnya.
Lalu, bagaimanakah halnya dengan kurikulum pendidikan di UGM? Apakah ia memiliki relevansi dengan problem masyarakat Indonesia kontemporer? Apakah ia memiliki perspektif kritis-transformastif sebagai hakikat dan tujuan pendidikan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kita jawab dengan melihat kenyataan di lapangan.
Sejauh pengamatan penulis, kurikulum yang diajarkan di UGM belum mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi penyelesaian problem yang dihadapi oleh masyarakat. UGM lebih sibuk menciptakan sarjana-sarjana pengangguran yang jauh dari realitas masyarakat, tidak memiliki kepedulian sosial, dan bahkan bersikap layaknya kaum borjuis terhadap sesamanya. Hal ini tentunya tidak terlepas dari proses pendidikan dan sistem pendidikan yang diterapkan di UGM. UGM telah memiliki segudang filosofi luhur, sejarah panjang yang heroik, serta visi dan misi yang jauh ke depan. Namun dalam kenyataannya ketiga modal tersebut belum mampu diterjemahkan ke dalam praksis yang benar-benar integral dan ideal.
Di lapangan kita dapat melihat bagaimana pengajaran di kelas-kelas ternyata masih terbatas pada diskusi-diskusi yang melangit dan jauh dari realitas sosial. Kalaupun membahas kondisi sosial yang ada, hal itu masih bersifat teoritis dan abstrak, belum mampu memberikan sebuah solusi konkret yang kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan nyata. Penelitian-penelitian yang dilakukan baik oleh mahasiswa maupun dosen belum benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang membutuhkan, karena penelitian-penelitian itu jarang sekali yang berakar dan bersumber langsung dari problem yang dihadapi oleh masyarakat di lapangan. Padahal kalau memang kita memiliki perspektif kritis-transformatif, maka penelitian kita seharusnya berangkat dari problem yang ada dan harus segera dicarikan penyelesaiannya. Kalaupun penelitian itu berasal dari problem masyarakat, hasilnya pun tidak kemudian diarahkan untuk menjadi semacam solusi yang nantinya dapat dilaksanakan oleh masyarakat yang menghadapi dan mengalami problem itu sesuai dengan kemampuan mereka dan mungkin juga dengan bantuan pihak lain. Seringkali hasil penelitian itu hanya menjadi arsip dan dokumen yang ‘dimuseumkan’ oleh para penelitinya tanpa disosialisasikan dan didiskusikan kepada dan bersama masyarakat.
KKN yang menjadi program pengabdian mahasiswa kepada masyarakat pun belum mampu memberikan manfaat yang benar-benar terasa bagi masyarakat, karena program itu hanya bersifat insidental dan bahkan seremonial, bukan suatu program yang kontinyu dan konsisten. Program itu juga tidak berangkat dari kebutuhan masyarakat yang dikemukakan oleh masyarakat sendiri, namun berasal dari apa yang dipikirkan oleh mahasiswa dan dosen. Padahal, belum tentu apa yang mereka pikirkan sama dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat yang menjadi subyek KKN.
Dari uraian di atas, maka menjadi tantangan bagi kita semua untuk kembali merumuskan kurikulum dan orientasi pendidikan di UGM demi terwujudnya cita-cita UGM sebagai universitas perjuangan dan kerakyatan di tengah ambisi untuk mewujudkan cita-cita research universituy
Daftar Pustaka:
Rahardjo, Toto, et, al., (eds). 2001. Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santoso, Heri. 2008. Filosofi UGM. Yogyakarta: Senat Akademik bekerjasama dengan Pusat Studi Pancasila.
Saputri, Intan Yanuar. 2008. Mengenal Advokasi (artikel bahan diskusi internal Departemen Advokasi LMPsi). Yogyakarta.
Sutaryo dan Suratman Woro. 2008. Sejarah Lahirnya Universitas Perjuangan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Senat Akademik.
William K. Tabb. 2006. Tabir Politik Globalisasi (terjemahan). Yogyakarta: Lafadl Pustaka.
12 November 2008
Pemilu 2009 dan Harapan Perubahan: Menimbang Antusiasme Pemilih
Pemilu 2009 masih lama, namun partai-partai politik sudah mulai melakukan ‘manuver-manuver’ untuk menarik minat para pemilih agar memilih partai mereka. Kita dapat menyaksikan bagaimana bendera-bendera partai-partai politik bertebaran di mana-mana, mulai dari jalan tol hingga pelosok-pelosok kampong. Ukurannya pun bermacam-macam, mulai dari yang sangat besar hingga yang kecil. Begitu pula halnya dengan iklan-iklan politik di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Kita dapat melihat bagaimana partai-partai politik berlomba-lomba memperkenalkan, mengkampanyekan, dan mencitrkan partai mereka masing-masing kepada para pemirsa dan pembaca yang merupakan pemilih dalam Pemilu 2009 nanti. Ada pula yang berusaha ‘memasarkan’ partainya melalui poster-poster, baliho, spanduk, dan sebagainya yang diletakkan di tempat-tempat strategis. Semua itu tidak lain adalah untuk mengenalkan partai mereka dan harapannya juga para pemilih akan memilih mereka.
Berbagai macam cara dan strategi yang digunakan oleh partai-partai politik di atas tentu saja sah-sah saja, asalkan tidak melanggar peraturan kampanye yang telah ditetapkan di dalam undang-undang. Masa kampanye yang panjang memang seharusnya dimanfaatkan dengan baik oleh partai-partai politik untuk mensosialisasikan partai mereka, visi dan misi yang mereka bawa, serta calon-calon anggota legislatif, dan bahkan pada saatnya nanti mungkin juga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mereka usung.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sebagian rakyat Indonesia yang merupakan pemilih dalam Pemilu nanti akan antusias dalam memilih, baik calon anggota legislatif maupun pasangan calon presiden dan wakil presiden? Hal ini perlu dipertanyakan karena pada masa-masa Pemilu sebelumnya, baik di daerah maupun di tingkat nasional, tingkat partisipasi politik rakyat Indonesia masih rendah. Pada Pilkada Jawa Timur yang jumlah pemilihnya paling besar, ternyata tingkat partisipasi hanya sekitar 54 persen, yang artinya tingkat golput mencapai 46 persen. Begitu pula halnya dengan Pilkada-Pilkada di daerah lainnya; kondisinya ternyata tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa legitimasi yang dimiliki oleh para pemimipin yang terpilih selama ini tidak begitu tinggi, kalau tidak bisa dibilang rendah. Apakah fenomena golput ini merupakan sesuatu yang wajar? Penulis rasa tidak.
Lalu, mengapa banyak di antara pemilih yang memilih untuk tidak memilih alias golput? Menurut penulis hal tersebut disebabkan oleh setidaknya … faktor. Pertama, karena apatisme politik. Kenapa hal ini terjadi? Karena para pemilih merasa bahwa siapapun yang terpilih nantinya hal tersebut tidak akan terlalu berpengaruh signifikan bagi mereka, dalam artian bahwa pemimpin yang terpilih diragukan akan mampu mengubah nasib mereka ke taraf yang lebih baik dan sejahtera. Apalagi dengan adanya Pemilu multipartai seperti sekarang ini, mereka berpikiran bahwa partai-partai baru hanya ingin memanfaatkan euforia demokrasi dan mendapatkan keuntungan dari dana yang mereka peroleh dari pemerintah. Mereka beranggapan bahwa partai-partai baru tersebut tidak memiliki visi dan misi yang jelas. Mereka tidak akan membawa perubahan yang signifikan.
Sedangkan partai-partai lama, terutama partai-partai besar dengan tokoh-tokoh yang menjadi ikon mereka dianggap tidak akan membawa perubahan yang signifikan. Karena berdasarkan pengalaman, partai-partai besar tersebut tidak mampu memberikan manfaat dan maslahat yang besar dan benar-benar dirasakan oleh rakyat banyak. Alih-alih menyejahterakan rakyat, mereka justru mengeluarkan kebijakan yang merugikan rakyat.
Kedua, pesimisme publik. Yang dimaksud dengan hal ini adalah bahwa dalam kenyataan sekarang sebagian besar rakyat Indonesia merasa bahwa masa depan bangsa yang sedang dalam krisis ini tidak begitu memberikan harapan, bahkan dengan kemunculan tokoh muda sekalipun, seperti yang akhir-akhir ini digembar-gemborkan oleh beberapa partai politik dan beberapa kalangan yang mengharapkan perubahan radikal. Sebagian besar rakyat tidak percaya bahwa pemimpin yang ada dan yang akan terpilih nantinya mampu melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai amanat rakyat dan janji-janji manisnya dalam kampanye Pemilu. Mereka beranggapan bahwa para pemimpin hanya memikirkan golongan atau kelompok dan kerabat-kerabat mereka sendiri dan mengesampingkan kepentingan rakyat banyak.
Kedua faktor di atas merupakan determinan yang dapat dijadikan indikator bagi tinggi atau rendahnya tingkat partisipasi para pemilih dalam Pemilu 2009 nanti. Apabila kedua faktor di atas mampu kita pecahkan, maka antusiasme para pemilih akan semakin tinggi.
Wallahu a’lam bis showab.
03 November 2008
Islam dan Politik Islam: Pencarian Identitas*
Dalam Pembukaan UUD 1945, kalau kita berkaca pada sejarah, kita akan melihat bahwa di baliknya terdapat sebuah narasi yang panjang tentang konflik antar agama.
Pada saat sidang BPUPKI, kelompok Islam menginginkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara dengan argumen bahwa karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, maka sudah sepantasnya apabila negara Indonesia menerapkan sistem negara Islam yang tentunya diberlakukan kepada seluruh rakyat Indonesia. Namun, ternyata hal ini tidak berhasil, karena kelompok nasionalis mengatakan bahwa apabila Indonesia ‘diharuskan’ untuk menerapkan sistem negara Islam, maka para pemeluk agama lain akan memilih untuk tidak bergabung dalam NKRI, karena mereka merasa ada diskriminasi agama dalam konteks tersebut. Akhirnya, hasil yang dapat dicapai oleh kelompok Islam adalah Piagam Jakarta yang memuat “tujuh kata” yang berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.
Dan pada saat sidang PPKI, perdebatan sengit antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis mengenai “tujuh kata” di atas kembali mengemuka. Akhirnya, Bung Karno menengahi dengan berkata bahwa yang paling penting untuk diperhatikan ketika itu adalah keutuhan NKRI, dan oleh karenanya beliau meminta kelompok Islam untuk mengalah, dan sebagai kompensasinya kelompok Islam dihadiahi ‘jatah’ Departemen Agama, yang banyak mengurusi urusan umat Islam.
Pada Sidang Konstituante (1955-1959), kelompok Islam yang berada dalam partai Islam terus memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, namun usaha ini gagal. Meskipun begitu, mereka tetap menghormati dan menaati keputusan yang dihasilkan oleh Majelis Konstituante. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tetap menghormati demokrasi dan prinsip musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Dan karena didorong oleh kesadaran inilah mereka dalam perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia tetap taat pada NKRI dan tidak melakukan usaha-usaha anarkis yang dapat memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Adapun pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengatasnamakan Islam merupakan hal lain yang memiliki penyebab dan tujuan yang berbeda dengan mereka.
Keinginan dan cita-cita negara Islam yang diperjuangkan oleh kelompok Islam saat itu tidak terlepas dari sebuah kesadaran akan sifat komprehensif dari ajaran Islam. Islam merupakan agama yang universal, menyeluruh, dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik kenegaraan. Islam bukan hanya syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, tetapi juga mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keberadaban. Dan semua hal ini didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun pada perkembangannya, kelompok Islam terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok formalis-dasar negara dan kelompok formalis-UU dan peraturan lain. Kelompok pertama tetap menginginkan dan memperjuangkan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara Islam. Pada era reformasi kita dapat melihat bagaimana kelompok berusaha memperjuangkan kembali aspirasinya, yaitu diberlakukannya kembali Piagam Jakarta dalam pembahasan perubahan UUD 1945 dalam Sidang Tahunan (ST) MPR pada tahun 2000, tetapi tidak berhasil. Sedangkan kelompok kedua tidak lagi memaksakan Islam untuk dijadikan sebagai dasar negara, tetapi lebih mementingkan pada tercapainya kesesuaian setiap peraturan dan undang-undang dengan prinsip-prinsip etis yang terkandung dalam ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut penulis, usaha yang dilakukan oleh kelompok pertama di atas sudah tidak sesuai lagi dengan konteks saat ini, karena kita sebagai bangsa yang besar harus menghormati keputusan bersama yang telah disepakati bersama di masa lalu. Namun, yang lebih layak dan patut diperjuangkan adalah tercapainya sistem dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertib, konstitusional, aman, adil, makmur, dan bermoral. Bukankah lebih penting memperjuangkan implementasi nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam daripada sekedar memperdebatkan bentuk negara?
__________________________________________________________________________________
*Tulisan ini pernah dimuat dalam buletin Dialektika Edisi 2 (diterbitkan oleh PMII Rayon Sosio Humaniora Komisariat Gadjah Mada).
25 May 2008
Indonesia dan Tantangan Globalisasi
Memang, apabila kita lihat sekilas, modal berupa sumber daya manusia dan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia di atas sangatlah besar dan potensial. Dan memang sudah seharusnya dengan modal tersebut Indonesia mampu memaksimalkan seluruh potensinya untuk tumbuh dan berkembang menjadi sebuah negara yang kaya, makmur, makmur, dan sejahtera. Sudah selayaknya apabila kemudian Indonesia muncul menjadi negara superpower, negara adikuasa.
Namun dalam kenyataannya apa yang menjadi idealitas seperti di atas belum terwujud hingga sekarang. Kenapa hal itu dapat terjadi? Apa permasalahannya?
Saat ini kita, bangsa Indonesia, sedang menghadapi era globalisasi, yang ditandai dengan muncul dan semakin massifnya teknologi informasi yang masuk di Indonesia. Era ini disebut era teknologi informasi. Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan di bidang ini, maka ia akan ketinggalan zaman. Misalnya HP. Sekarang ini kita dapat melihat bahwa hampir setiap orang dari segala lapisan masyarakat memilikinya. Bahkan telah muncul suatu keyakinan bahwa orang yang belum memiliki HP maka ia adalah orang yang gaptek. Kata teman saya:”Hari gini kagak punya hp?”. Artinya, pada era ini semua orang dari lapisan sosial manapun dituntut untuk mengikuti trend masa kini dalam hal teknologi informasi. Semua orang di dunia dituntut untuk mengikuti trend ini, termasuk di Indonesia. Tapi ini hanyalah satu sisi saja dari globalisasi, dan masih banyak sisi lain dari globalisasi.
Namun, apakah sebenarnya kaitan antara globalisasi yang sedang berlangsung sekarang ini dengan eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara?
Indonesia, sebagai sebuah negara, dituntut untuk mengikuti trend globalisasi. Salah satunya adalah apa yang disebut dengan good governance, yaitu suatu konsep tata pemerintahan yang di dalamnya negara tidak boleh lagi memegang peranan yang terlalu mendominasi urusan rakyatnya di dalam seluruh aspek kehidupan. Jadi,dalam hal ini negara hanya berfungsi sebagai penjaga gawang apabila terjadi kondisi kritis. Dan sebagai konsekuensinya adalah apa yang disebut dengan swastanisasi, desentralisasi, otonomi daerah, dan sebagainya. Segala urusan tidak lagi ditangani negara, tetapi oleh masyarakat sendiri.
Dengan adanya konsekuensi di atas, maka tanggungjawab yang dibebankan oleh rakyat kepada negara dalam berbagai aspek kehidupan menjadi terabaikan. Saat ini pendidikan semakin menunjukkan sifat elitisnya, karena pemerintah semakin melepaskan tanggungjawabnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Biaya pendidikan semakin mahal dan hanya dapat dijangkau oleh mereka yang kaya. Rakyat kecil yang miskin dan terlantar semakin terabaikan karena perhatian pemerintah bukan lagi pada soal kemiskinan, tapi pada soal pertumbuhan ekonomi makro yang mengutamakan perusahaan-perusahaan dengan modal besar dan mengesampingkan sektor riil, khususnya sektor informal. Kekayaan alam yang melimpah ruah pun bukannya dimanfaatkan secara produktif dan ekologis, tetapi malah dieksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi para pemodal dan tanpa memerhatikan tatanan ekologi. Hukum yang katanya ditegakkan untuk memberantas korupsi dan tindakan-tindakan kriminal secara adil ternyata sebenarnya hanyalah salah satu agenda good governance untuk memuluskan jalan bagi para pemodal atau kapitalis, dan ia belum menunjukkan harapan yang diinginkan. Ia lebih bersifat diskriminatif alias tebang pilih. Politik yang seharusnya digunakan untuk mewujudkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak ternyata tidak lebih daripada ajang perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala cara dan tunduk pada kepentingan para pemodal yang berkuasa.
Akankah Indonesia kian terpuruk dalam menghadapi globalisasi yang sedang berlangsung ini? Entahlah. Namun, menurut saya semua itu tergantung bagaimana rakyat Indonesia dan para elit politik menyikapinya. Kalau kita terus membiarkan keterpurukan ini berlangsung, maka kita akan semakin terpuruk. Begitu pula sebaliknya, apabila kita berbuat sesuatu untuk mengubah semuanya menjadi lebih baik, maka harapan akan Indonesia yang lebih baik ada di tangan kita. Manakah yang kita pilih?
Mahasiswa dan Kesadaran Sosial: Menggugat Mahasiswa Oportunis
Selama ini gerakan mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia pergerakan masih bersifat elitis dan belum mampu menyatukan diri mereka dengan rakyat kecil atau kalangan akar rumput. Mereka masih berkutat pada permasalahan yang abstrak dan jauh di awang-awang alias asing bagi rakyat kecil yang kurang begitu memahami wacana yang mereka angkat. Bahkan, banyak di antara anggota gerakan mahasiswa yang enggan untuk berperan secara konkret dalam ranah pemberdayaan dan advokasi masyarakat kecil yang tertindas. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk mengangkat isu-isu yang ‘besar’ dan bergengsi. Hal inilah yang kemudian akhirnya menyebabkan gerakan mereka kurang mendapatkan respon dari masyarakat banyak yang mereka bela. Bahkan apa yang mereka perjuangkan itu seringkali dianggap sebagai suatu bentuk ketergesa-gesaan dan kebodohan yang sia-sia. Dan yang lebih ekstrimnya, seperti kata teman saya, aksi-aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa selama ini dianggap buruk dan tidak baik oleh beberapa kalangan masyarakat.
Mahasiswa, mau tidak mau, merupakan kalangan elit dari bangsa ini. Oleh karena itulah sangat wajar apabila banyak dari mereka yang bersikap elitis dan kurang mau peduli dengan permasalahan riil yang sedang dihadapi oleh rakyat kecil. Namun, apakah ketidakacuhan ini merupakan tindakan yang benar? Kebanyakan dari mahasiswa di berbagai perguruan tinggi menganggap bahwa aksi atau demonstrasi merupakan hal yang sia-sia dan tidak berguna walaupun sebenarnya mereka ‘katanya’ juga turut peduli dengan kondisi rakyat miskin. Namun, apakah hanya dengan kepedulian yang tidak diikuti dengan tindakan nyata untuk menuntut keadilan bagi mereka yang tertindas kepada penguasa kita dapat memperbaiki kehidupan mereka? Di dalam kuliah-kuliah di kelas, para mahasiswa banyak memperbincangkan kemiskinan, keterbelakangan, kesalahan pengelolaan pendidikan, kesalahan sistem ekonomi, namun tidak mau terjun langsung untuk melakukan perubahan terhadap realitas yang timpang itu. Apakah sikap seperti ini yang dinamakan sebagai sikap konsisten dan berkomitmen? Padahal, di luar sana, di sudut-sudut kota yang kumuh itu, para gelandangan dan pengemis menanti kehadiran mereka untuk membebaskan mereka dari keterpurukan yang dialaminya.
Di manakah letak konsistensi kepedulian kita, para mahasiswa semua, terhadap kondisi bangsa dan negara kita yang tercinta ini? Kenapa kita hanya berbicara tentang kebobrokan bangsa dan negara kita tanpa melakukan gerakan nyata untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik? Apakah pembicaraan tentang kemiskinan itu menarik? Apakah berdebat tentang korupsi itu bergengsi? Apakah menulis tentang efek pemanasan global itu seksi? Apakah memperbincangkan komersialisasi pendidikan itu up to date? Mungkin banyak di antara kita yang menjawab ya. Namun, apakah kita mengatakan seksi, menarik, bergengsi, dan sebagainya itu hanya untuk dibicarakan panjang lebar tanpa ada usaha konkret untuk melakukan perbaikan? Kalau memang hal itu benar, berarti benar pulalah apa yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa para filosof hanya dapat menafsirkan realitas, padahal yang lebih penting adalah bagaimana mengubah realitas itu sendiri. Hanya saja, di sini bukan filosof yang digugat, tapi para mahasiswa yang katanya berpendidikan dan mengerti kondisi bangsa dan negara Indonesia, namun tidak mau berbuat sesuatu secara nyata untuk memperbaikinya. Mahasiswa seperti inilah yang disebut dengan mahasiswa oportunis, yang hanya mencari ‘aman’ untuk dirinya sendiri.
Sikap seperti apakah yang kita pilih, keluar dari zona aman untuk memperjuangkan nasib bangsa dan negara, atau tetap bertahan dalam zona aman untuk menyelamatkan kepentingan diri kita sendiri? Jawablah dengan hati nurani Anda sendiri.
30 March 2008
Ali Syari’ati, Islam, dan Indonesia: Sebuah Analisis
Sebagaimana halnya yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa besar, revolusi Islam yang terjadi di Iran juga menyimpan sebuah pertanyaan. Bagaimana mungkin orang-orang yang berada di suatu negara yang tingkat pendidikan dan ekonominya belum begitu maju, walaupun memiliki potensi kekayaaan sumber daya minyak yang tinggi, dapat menjadi sangat revolusioner dan radikal? Faktor apakah yang menyebabkan hal tersebut? Kekuatan apakah yang berada di balik peristiwa itu? Ataukah mungkin ada aktor-aktor tertentu yang mempunyai andil besar dalam mengubah mindset mereka? Kalau iya, siapa sajakah mereka?
Mungkin masih banyak di antara kita yang belum akrab atau bahkan belum pernah mendengar nama Ali Syari’ati, seorang tokoh revolusioner yang mempunyai peran sangat besar, khususnya secara intelektual, dalam tercapainya revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, di samping tokoh-tokoh lainnya seperti Imam Khomeini, Muhammad Khatami, dan Ali Mossadeq.
Ali Syari’ati: Biografi Singkat
Ali Syari’ati lahir pada tanggal 24 November 1933 dengan nama asli Muhammad Ali Mazinani. Ia adalah putra sulung dari pasangan Sayyid Muhammad Taqi’ Syariati dan putri Zahrah. Ia tumbuh dan dibesarkan di sebuah desa dekat Masyhad di timur laut Khurasan, Iran. Keluarganya cukup disegani di kalangan masyarakat, terutama karena ayahnya yang terkenal sebagai seorang guru dan mujahid besar, pendiri Markaz Nasyr al-Haqa’iq al-Islamiyyah (Pusat Penyebaran Kebenaran-Kebenaran Islam) di Masyhad dan sekaligus merupakan salah satu putra dari tokoh pergerakan pemikiran Islam di Iran. Dan melalui peran sang ayah inilah kelak Syari’ati menemukan jalan ke arah jati diri dan identitasnya sebagai seorang intelektual Islam, di samping peran tokoh-tokoh lainnya seperti kakek-kakeknya, khususnya Akhund Hakim, kakek dari ayahnya, dan juga paman ayahnya yang merupakan murid dari pemikir terkemuka dan sastrawan, Adib Nisyapuri.
Ali Syari’ati kecil terkenal sangat pendiam, kurang bisa bergaul, suka menyendiri, tidak mau diatur, namun sangat rajin membaca dan belajar. Ia lebih suka berada di kamar ayahnya membaca buku-buku milik ayahnya dengan ditemani olehnya hingga menjelang pagi daripada mempelajari buku-buku pelajaran sekolah atau bermain di luar rumah. Namun demikian, sebagaimana anak-anak lainnya, ia selalu naik kelas di sekolahnya.
Saat menginjak usia remaja, tepatnya pada tahun pertama di sekolah menengah atas, Syari’ati sudah mulai menyukai bidang filsafat dan mistisisme. Salah satu filosof yang mempengaruhi ketertarikannya terhadap filsafat adalah Maeterlinck yang membuatnya terkesan dengan pertanyaannya yang menggelitik: “Bila kita meniup mati sebatang lilin, ke manakah perginya nyala lilin itu?”
Saat memasuki usia dewasa, Syari’ati sangat aktif di dalam berbagai gerkan dan organisasi sosial dan politik. Pada sekitar usia 17-18 tahun ia menjadi mahasiswa di lembaga pendidikan Primary Teacher’s Training College (Kampus Pendidikan Guru Primer). Pada usia 20-an ia mulai menyadari kondisi sosial dan politik bangsanya yang mengalami penindasan oleh penguasa. Dan hal inilah yang kemudian membuat ia aktif melakukan perlawanan melalui pidato, tulisan dan gerakan. Setelah menginjak usia 23 tahun, ia masuk Fakultas Sastra di Universitas Masyhad. Di sini ia bergabung dengan kelompok pro-Mosadeq, oposisi rezim penguasa, dan Gerakan perlawanan Nasional atau NRM (National Revolution Movement) cabang Masyhad. Pada usia 25 tahun ia menikah dengan seorang putri dari Haji Ali Akbar yang bernama Pouran-e Syari’ati Razavi.
Setelah lulus dari Universitas Masyhad, Syari’ati mendapat beasiswa studi ke Universitas Sorbonne, Paris. Di sinilah ia menemukan kebebasan dalam pergulatan intelektual yang intens dan mendalam dengan berbagai aliran pemikiran yang belum pernah ditemuinya di Iran. Ia mulai mengenal tokoh-tokoh dunia, para filosof, sosiolog, islamolog, serta para penulis terkenal seperti Albert Camus, Henry Bergson, Jean Paul Sartre, Frantz Fanon, dan Louis Massignon. Ia juga mengkaji secara kritis pandangan-pandangan Karl Marx dan mengkorelasikannya dengan kondisi dunia ketiga, khususnya negaranya, Iran. Ia saat itu sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran Frantz Fanon, seorang cendekiawan Aljazair asal Martinique yang aktif mendukung revolusi Aljazair kala itu, yang kemudian mengilhaminya untuk menerapkan pemikiran-pemikiran revolusionernya di negaranya, Iran. Salah satu buku yang sangat terkenal darinya dan disebarluaskan oleh Syari’ati adalah The Wretched of The Earth (Yang Terkutuk di Bumi). Selama di Paris ia bersama kawan-kawan seperjuangannya menyebarkan ide-ide revolusioner dan progresif untuk mengabarkan apa yang terjadi di Iran kepada warga dunia, khususnya Eropa.
Pada bulan September 1964, Ali Syari’ati dan keluarganya kembali ke Iran. Ia berniat untuk ikut berjuang secara penuh bersama para pejuang lainnya untuk kemerdekaan Iran dari rezim Syah yang lalim. Ia rela keluar-masuk penjara demi menyebarkan ide-ide revolusionernya tentang kebebasan dan kemerekaan kepada rakyat Iran, khususnya kalangan terdidik, yaitu kaum mahasiswa dan akademisi, dengan harapan bahwa mereka mampu menjadi ujung tombak dalam pergerakan anti-penjajahan oleh rezim yang totaliter. Ia berpidato di Universitas Masyhad dan di Institut Husyainiyah Irsyad mengenai arti dan pentingnya ideologi Islam radikal dan gerakan politik, dan karena kemampuannya dalam mempengaruhi massa yang sangat baik itulah ia seringkali menjadi sasaran penangkapan aparat keamanan rezim Syah.
Kemudian pada bulan Mei 1977, Syari’ati hijrah ke Inggris dengan harapan dapat menuangkan idenya secara luas. Akan tetapi, sebulan setelah itu, tepatnya pada tanggal 19 Juni 1977, ia meninggal secara misterius di rumah kerabatnya di Inggris. Ia dimakamkan di Damaskus, Syiria, di dekat kuburan Sayyidah Zainab, saudari Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Islam Revolusioner: Sebuah Gagasan
Salah satu ide Ali Syari’ati yang sangat terkenal dan mempengaruhi berbagai kalangan pemikir di dunia Islam adalah idenya tentang sifat revolusioner dari agama Islam. Ia memandang bahwa sesungguhnya Islam adalah agama perlawanan, agama kiri, agama rakyat tertindas, dan oleh karena itu ia harus dipahami sebagai sebuah gerakan dan semangat pembebasan secara keseluruhan, baik dari penindasan politik, ekonomi, agama, sosial, maupun yang lainnya.
Pemikiran di atas lahir karena didasari oleh ajaran tauhid, yang intinya adalah pernyataan pengakuan akan satu-satunya dzat yang patut disembah dan dipatuhi, yaitu Allah SWT, dan penyangkalan terhadap selain-Nya, seperti rezim yang totaliter, penghambaan terhadap harta kekayaan, kectentangan dengan ajaran itu adalah adanya penindasan di Iran, kata Syari’atiintaan terhadap keluarga yang berlebihan, dan sebagainya. Ketika kita sudah mengikrarkan tauhid, maka harus menentang segala hal yang bertentangan dengan ajaran tauhid dan ajaran yang datang dari Allah serta Rasul-Nya, dan salah satu hal yang ber. Oleh karena itu, menurutnya, seluruh umat Islam di Iran harus ikut bergerak dan bangkit bersama melawan hegemoni rezim Syah yang tidak adil dan lalim kala itu, karena hal itu bertentangan dengan prinsip ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin. Ia sangat menekankan perlunya pemahaman dan keyakinan tauhid yang mendalam sebagai simbol pembebasan manusia.
Ali Syari’ati menekankan pentingnya Islam sebagai sebuah ideologi, dan karakter dari ideologi Islam di sini ialah sifatnya yang anti-status quo dan pro-perubahan. Menurutnya, ideologi Islam harus termanifestasikan dalam amanat yang ia emban untuk membangkitkan dan membebaskan kaum yang menderita, bodoh, dan tertindas, agar bangun dan menuntut hak-haknya secara tegas. Tujuan utama dari seluruh pemikiran yang diperjuangkan oleh Syari’ati bermuara pada cita-cita bagi terwujudnya Islam sebagai agama pembaharuan yang progresif dan revolusioner. Oleh karena itu, diperlukan suatu penafsiran kembali terhadap ajaran Islam secara radikal agar tidak hanya berkutat pada permasalahan ritual individual saja, tetapi secara lebih luas harus juga menyentuh permasalahan yang dihadapi masyarakat seluruhnya, terutama yang berkaitan dengan hak-hak politik dan ekonomi.
Dalam upaya menggerakkan masyarakat yang tertindas untuk merebut hak-haknya yang terampas, Ali Syari’ati berpandangan bahwa diperlukan adanya golongan atau kelompok yang membimbing dan memimpin mereka dalam mengambil langkah-langkah strategis bagi tercapainya tujuan mereka. Dan kelompok ini haruslah terdiri dari orang-orang yang memiliki kesadaran yang tinggi dengan pemhaman yang komprehensif terhadap ideologi yang menjadi landasan gerakannya. Dengan begitu, segala langkah yang akan ditempuhnya mempunyai pijakan yang pasti dan arah yang jelas. Orang yang mempunyai keyakinan ideologi yang kuat akan mampu berbuat secara total untuk memperjuangkan cita-citanya. Syari’ati menyebut kelompok ini dengan sebutan rausyanfikr, pemikir tercerahkan yang mengikuti ideologi yang dipilihnya secara sadar. Merekalah yang akan memimpin masyarakat menuju revolusi.
Menurut Ali Syari’ati, ideologi komunisme yang berkembang dan dipahami oleh orang-orang saat itu kurang sesuai apabila diterapkan secara ‘mentah’ di Iran. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan yang nyata antara kondisi sosial, kultural, dan politik di negara-negara komunis dengan negara Iran. Bangsa Iran merupakan bangsa yang religius, terutama mayoritas dari mereka beragama Islam, sedangkan ideologi komunisme berwatak atheis, menekankan pertentangan kelas, dan terlalu mementingkan aspek materi. Oleh karena itu, perlu adanya ‘penyesuaian’ yang tepat antara komunisme dengan ideologi Islam yang diyakini oleh rakyat Iran. Di dalam Islam tidak dikenal istilah pertentangan kelas, karena justru ia bertujuan menghilangkannya dengan konsep taqwa. Selain itu, Islam juga melarang umatnya melakukan pemujaan terhadap harta benda, karena harta benda hanyalah sarana untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya di akhirat. Dan khusus untuk rakyat Iran, Syari’ati berpendapat bahwa mereka perlu kembali kepada semangat Islam Syi’ah yang selama ini mereka miliki dengan menggugah kembali akar-akar revolusioner dari ajaran-ajarannya. Ia berpandangan demikian karena Islam, khususnya Islam Syi’ah, masih mendominasi budaya, tradisi, dan identitas rakyat Iran. Ia meyakinkan seluruh rakyat Iran bahwa kebutuhan yang paling mendasar mereka saat itu adalah sebuah gerakan revolusioner yang didasarkan pada ajaran Islam yang mereka yakini yang bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat intelektual mereka dan mewujudkan kebangkitan Islam. Ini semua berawal dari sebuah pemahaman bahwa Islam adalah agama revolusioner, agama perlawanan.
Islam Indonesia: Revolusioner?
Rakyat Iran telah mengalami sendiri masa-masa sulit dalam menghadapi kekuatan penguasa yang menindas dan despotis, dan mereka berhasil membuktikan dengan baik bahwa mereka mampu bangkit melawan segala penindasan dan kedzaliman yang mereka hadapi. Mereka telah membuktikan bahwa kekuatan revolusioner Islam benar-benar ada, apabila hal itu ada dalam keyakinan kita. Dan meskipun Ali Syari’ati tidak sempat menyaksikan secara langsung peristiwa revolusi Islam di Iran yang sangat bersejarah dan inspiratif itu, kita semua pasti setuju bahwa ia sebenarnya sangat berbahagia karena usahanya yang penuh dedikasi dan pantang menyerah selama hidupnya tidaklah sia-sia. Mungkin di dalam kuburnya ia tidak henti-hentinya mengucapkan syukur dan bersujud kepada Allah dengan diiringi tangis bahagia.
Bagaimana halnya dengan Islam di Indonesia?
Einstein, Nuklir, dan Masa Depan Peradaban Dunia
Kemudian faktor fisiologis. Faktor ini sebenarnya berkaitan dengan faktor yang pertama di atas. Pada contoh di atas, dalam keadaan mengantuk dan hampir tidak sadar (faktor fisiologis), pikiran dan perasaan kita tidak akan berada dalam kondisi 'fit', sehingga hal ini mempengaruhi pengamatan kita dan hasilnya. Kondisi fisik kita pada saat melakukan pengamatan juga sangat mempengaruhi proses dan tentu saja hasil yang diperoleh darinya. Dan yang ketiga adalah faktor jarak atau posisi. Yang dimaksudkan dengan faktor posisi adalah letak atau posisi pengamat dan obyek pengamatan pada saat dilakukan pengamatan. Misalnya, pada contoh di atas, ketika kita melakukan pengamatan terhadap kereta yang ada di samping kita, maka posisi dan jarak kita dengan kereta lain yang sedang kita amati juga akan mempengaruhi hasil pengamatan kita.
Itulah sedikit uraian tentang kecemerlangan dan kegeniusan seorang Albert Einstein. Dalam artikel ini penulis ingin memaparkan tentang kaitan antara teori dan pemikiran Einstein yang revolusioner di atas dengan salah satu kenyataan yang kita hadapi saat ini, yaitu nuklir.
Salah satu hasil dari tercetuskannya teori relativitas Einstein adalah lahirnya rumus E = mc2, yang mengemukakan bahwa benda dan energi berada dalam arti yang berimbangan. E menunjukkan energi, m menunjukkan massa benda, sedangkan c menunjukkan kecepatan cahaya. Karena c sama dengan 180.000 kilometer per detik, dan merupakan jumlah angka yang sangat besar, maka dapat dipastikan bahwa apabila c dikuadratkan menjadi c2, maka jumlahnya menjadi tak terhingga. Dengan demikian, perubahan sekecil apapun dari sebuah benda dapat mengeluarkan jumlah energi yang sangat luar biasa besarnya. Dan seperti telah diketahui oleh semua orang, rumus inilah yang kemudian melahirkan pemikiran yang memunculkan ide pembuatan energi atom yang sangat dahsyat, yang pernah menghancurkan dan meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.
Einstein merupakan seorang ilmuwan yang mencintai perdamaian dan kemanusiaan. Dan oleh karena itulah, ketika ia menyadari bahwa teorinya ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh segelintir orang, dan melihat sendiri dampak buruk yang diakibatkannya, ia merasa sangat bersalah dan kemudian gencara menyerukan perdamaian di seluruh dunia dan dengan begitu beraninya mengemukakan pandangan politiknya melawan kekejaman dan tirani, walaupun di sisi lain, mungkin karena pengalaman masa lalunya di masa Hitler dan ketidaktahuannya tentang seluk-beluk Zionisme, ia menjadi pendukung setia gerakan Zionisme yang kemudian melahirkan negara Israel.
Ide tentang pembuatan bom atom yang mengakibatkan hancurnya dua kota di Jepang itu ternyata belum mampu membuat seluruh umat manusia berpikir secara lebih mendalam dan berinstropeksi, menyadari kesalahan yang telah diperbuat untuk kemudian menciptakan sebuah tatanan dunia baru yang bebas dari ancaman kemusnahan dunia. Yang terjadi justru adalah pengembangan yang lebih jauh dari ide tersebut yang kemudian melahirkan energi yang lebih dahsyat dan lebih hebat dari energi atom, yaitu energi nuklir. Sebagaimana yang kita lihat saat ini, negara-negara maju, khususnya negara-negara adikuasa, semakin gencar melakukan pengembangan dan penelitian untuk meningkatkan energi nuklir tersebut menjadi bahan untuk pengembangan di bidang militer dan pertahanan, yang pada ujungnya melahirkan bom nuklir. Bahkan negara-negara dunia kedua dan ketiga juga tidak mau kalah dalam hal ini.
Bagi sebagian orang yang mendukung ide pengembangan teknologi nuklir, mereka beralasan bahwa ada hal-hal positif dari energi nuklir yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat, seperti pengembangan untuk tenaga listrik yang akan menghemat anggaran negara dan tingkat efisiensi dan keamanannya yang lebih besar. Namun bagi sebagian yang lain yang menolak ide pengembangan teknologi nuklir, mereka beralasan bahwa hal tersebut, walaupun dalam beberapa hal memiliki dampak yang positif, namun di sisi lain lebih banyak bahaya dan ancaman yang akan ditimbulkannya. Kelompok kedua ini beranggapan bahwa apabila teknologi nuklir telah menjadi komoditas, maka ia akan cenderung dieksploitasi untuk kepentingan politik segelintir elit saja, khususnya di bidang militer dan pertahanan. Mungkin tujuan awalnya baik, yaitu untuk tenaga listrik, namun pada akhirnya hal tersebut akan berlanjut pada pengembangan yang lebih berbahaya seperti untuk bom nuklir. Hal ini dapat meningkatkan suhu perpolitikan internasional dan semakin mengancam perdamaian dunia, di samping efek-efek negatif yang ditimbulkannya, seperti terhadap peningkatan pemanasan global dan ancaman kerusakan ekosistem.
Kalau begitu, apakah langkah yang sebaiknya kita ambil dalam menyikapi pro dan kontra yang terjadi di atas? Menurut penulis, kita harus sadar akan besarnya potensi kerusakan dunia yang diakibatkan oleh bahaya pengembangan teknologi nuklir tersebut. Bukankah masih banyak potensi-potensi lainnya yang terdapat di dalam materi-materi di dunia seperti yang telah menghasilkan biogas itu? Marilah kita berinstropeksi dan berefleksi tentang masa depan peradaban dunia kita yang sedang terancam ini. Akankah kita, umat manusia, menghancurkan sendiri tempat tinggalnya?!
Saatnya Sektor Informal Diperhatikan
Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan penyesuaian berbagai kebijakan ekonomi dalam negeri sebagai akibat dari ketidakpastian perekonomian di tingkat global. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian kita masih belum stabil dan kuat. Kondisi perekonomian kita masih mudah terguncang oleh ‘gonjang-ganjing’ perekonomian yang terjadi di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat. Padahal, apabila perekonomian kita kuat, maka gangguan-gangguan di tingkat dunia tersebut tentunya tidak terlalu mempengaruhi stabilitas perekonomian dalam negeri.
Selama ini banyak orang yang mengeluh, kenapa negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, hasil hutan, dan hasil laut tidak mampu menjadi negara yang makmur dan sejahtera? Padahal bila dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya seperti Jepang atau bahkan Amerika Serikat yang potensi sumber daya alamnya jauh di bawah Indonesia, maka potensi alam yang dimiliki Indonesia seharusnya dapat menjadikannya negara yang lebih makmur daripada kedua negara tersebut.
Apabila kita menengok kondisi riil perekonomian di Indonesia, maka dapat dikatakan wajar kalau negara ini belum mampu menahbiskan diri sebagai negara yang makmur dan sejahtera, karena kebijakan-kebijakan ekonomi yang dilahirkan oleh pemerintah belum sepenuhnya memenuhi persyaratan untuk dapat menjadi negara dengan perekonomian yang kuat. Kenapa? Karena selama ini pemerintah lebih memilih untuk ‘mengekor’ dengan menerapkan kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian yang menyenangkan Bank Dunia dan IMF yang sebenarnya merupakan ‘budak’ dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, karena merekalah pemilik saham terbesar di dalam kedua lembaga keuangan internasional tersebut. Hal ini terlihat dari berbagai instrumen kebijakan ekonomi yang lebih condong kepada sisi makroekonomi dan lebih berpihak pada para pengusaha yang bermodal besar. Pemerintah belum berani membuat kebijakan yang benar-benar berpihak kepada rakyat kecil melalui berbagai instrumen kebijakan ekonomi yang mengutamakan sektor riil dan para pengusaha di tingkat bawah, khususnya yang berada di sektor informal. Padahal merekalah yang menjadi penyumbang terbesar devisa ekonomi negara selama ini, walaupun akhir-akhir ini mengalami penurunan. Bahkan pada saat perusahaan-perusahaan besar bangkrut akibat krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1998, sektor informal justru mampu memainkan peran yang cukup signifikan dalam menopang perekonomian negara yang sedang ‘sekarat’ waktu itu.
Namun, justru yang menjadi pertanyaan adalah kenapa pemerintah selalu menegasikan dan bahkan terkesan ingin ‘memusnahkan’ sektor informal ini? Selama ini kita sudah sering melihat bagaimana pemerintah dengan begitu ‘antusias’ menggusur dan merazia PKL di berbagai daerah. Menurut penulis, sudah saatnya pemerintah sebagai otoritas pengambil kebijakan ekonomi memberikan apresiasi yang memadai terhadap peran mereka dalam mendorong pertumbuhan perekonomian negara dengan memerhatikan secara serius keberadaan sektor informal. Dan oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, menyiapkan instrumen kebijakan ekonomi yang berpihak pada sektor riil, terutama sektor informal. Kedua, mendorong perkembangan sektor riil melalui kebijakan anggaran. Ketiga, perlu adanya koordinasi yang baik antara pemerintah, pihak swasta, dan sektor riil serta sektor informal dalam menumbuhkan perekonomian yang kuat di dalam negeri. Dan keempat, harus dilakukan pengawasan secara berkesinambungan terhadap perkembangan perekonomian di dalam sektor informal, untuk kemudian dilakukan evaluasi untuk perbaikan ke depannya. Diharapkan dengan menguatnya sektor informal ini perekonomian dalam negeri ini akan menjadi semakin kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh ‘guncangan-guncangan’ eksternal yang berdampak negatif terhadap stabilitas perekonomian dalam negeri. Wallahu a’lam.
24 March 2008
Filsafat dan Keseharian Kita
Ketika kita melakukan suatu aktivitas tertentu, maka sistem syaraf di dalam otak kita akan memprosesnya, mulai dari menerima, menyalurkan, mengolah, hingga meresponnya dengan cara tertentu yang disesuaikan dengan rangsangan atau aktivitas yang diterimanya sebagai rangsangan (stimulus). Ketika itu, sekecil apapun rangsangan yang diterima, ia akan turut mempengaruhi pola berpikir, berbicara, dan bertindak kita dalam kehidupan keseharian kita. Mungkin hal ini kelihatan tidak masuk akal atau bahkan mustahil, namun apabila kita mampu mengamati dan mencermati fenomena tersebut melalui pengamatan dan penelitian yang mendalam dan membandingkan hasilnya dengan efek yang ditimbulkannya dalam kenyataan sehari-hari, maka kita akan menemukan kebenaran atas pernyataan yang dikemukakan di atas. Dalam pengetahuan ilmiah hal ini berkaitan dengan bidang fisiologi dan psikologi.
Secara lebih jauh dapat penulis katakan bahwa kesadaran sangatlah penting bagi setiap orang dalam menghadapi setiap peristiwa dalam hidupnya. Kenapa? Karena tanpa adanya kesadaran dalam berpikir, berucap, bersikap, dan bertindak akan membuat diri kita menjadi seonggok daging yang dipenuhi dengan insting hewani saja. Perhatikanlah hewan, bagaimana ia berperilaku dalam hidupnya yang hanya didorong dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan biologis-instingtifnya. Apakah kita, manusia, seperti itu? Bukankah kita semua tahu dan paham bahwa di dalam diri kita terdapat suatu kelebihan yang dianugerahkan oleh Tuhan atas makhluk-makhluk lainnya? Ya, itulah kelebihan kita, akal budi. Dengan akal budi tersebut manusia berkarya, berkehidupan sosial, dan melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Apabila akal budi ini diasah dan dikembangkan dengan baik, maka ia akan mampu membimbing pemiliknya menuju puncak ketinggian kebijaksanaan. Namun begitu pula sebaliknya, apabila akal budi tersebut tidak diasah dan dikembangkan secara maksimal, maka yang terjadi adalah pembodohan diri sendiri dan hal ini membuat pemiliknya jatuh dalam kubangan hina dan nestapa, karena kodrat kemanusiaannya tidak tercapai. Ia justru menjadi makhluk hewani yang primitif dan tak berbudaya.
Dalam hal ini, peran filsafat sangat penting bagi manusia untuk menjadi pembimbing dan penunjuk ke arah kebijaksanaan tertinggi sesuai kodratnya sebagai mikrokosmos di dunia ini. Tentunya peran itu tidak menafikan peran bidang-bidang lainnya seperti agama dan ilmu pengetahuan (sciences). Filsafat mampu menjadi pisau yang tajam dalam menelusuri fenomena-fenomena yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-harinya, menganalisa, dan untuk kemudian menentukan sikap dan perilaku yang pas dan sesuai dalam kehidupan sosialnya. Dalam merespon segala hal, ia akan menjadi sangat berhati-hati, teliti, dan penuh pertimbangan dengan memperhatikan berbagai perspektif yang ada dalam memandang hal tersebut.
Oleh karena itu, sejak sekarang, marilah kita berfilsafat dan memaksimalkan peran kesadaran akal budi kita dalam menghadapi dan merespon kehidupan sehari-hari kita. Berfilsafat tidaklah harus berpikir penuh abstraksi dan kata-kata yang muluk-muluk. Yang terpenting adalah bagaimana kita berusaha untuk menggunakan akal sehat dan akal budi dengan baik dan tidak tunduk pada perintah hawa nafsu dan insting hewani belaka. Mulailah dari yang terdekat dan termudah, misalnya, dengan menanggapi fenomena kerusakan lingkungan atau kebersihan lingkungan. Cobalah menganalisanya dari berbagai sudut pandang atau perspektif dan mencoba mencari solusi yang terbaik setelah mempertimbangkan berbagai aspek tersebut.
Selamat berfilsafat!!!
“Manusia adalah hewan yang berpikir (berakal budi)”.
14 January 2008
Mohammad Hatta: Nationalist or Opportunist?
Hatta began to understand about plitical thinking when he was studying in school in Padang and Batavia. But, the political thinking was concepted perfectly after he studied in Business High School of Rotterdam untill he got the title of doctorandus. This school had given him the strong basis to understand economic theories and the practical problems in both the national and international economic system. During his staying in Holland, he used the opportunity to widen his knowledge, to read the contemporary political and social problems, and to understand the Marxist theories which at the time were always interesting to all of European intellectuals. The politic debates in Europe in 1920s, the activities of the students of the universities from colonialized countries in Paris, London, and Bonn, and his participation on politic debates with the European socialist and communist figures had formed Hatta’s ideology.
Hatta’s thinkings are dynamic, not dogmatic. They include many topics, from politic, social, economy untill culture. But there are four main problems that became Hatta’s concern during his role in struggle for Indonesia’s independence and in the next years in his life. They are:
a.His belief that the parliamentary democracy with multiparties is the best governance form for Indonesia
b.His belief about the necessity to the fundamental social modernization for Indonesia
c.His belief that Indonesia must struggle especially to create the just economy
d.His belief that the parties in Indonesia must be lead by the educated cadres who have high political consideration and should act carefully into the mass membership
Hatta delivered his thinkings by writing many articles and essays in newspaper, journal, and magazine. After Indonesia’s independence, he often attended public meetings and gave his opinions and thinkings on the contemporary problems. They, which delivered during his life, are motivated by his consideration of nationalism on Indonesia’s independence and the prosperity of Indonesian people on economy, spirituality, social, and politic.
Some commentaries saying that Hatta is opportunist are wrong and have no basis whatever. Although he didn’t continue his duty as the vice-president by some reasons, he was always critical to every Soekarno’s govermental policy. His continuous criticism can be proved from his personal letters to Soekarno which had been sent since his retirement from the vice-president duty in Desember 1, 1956. they were collected by Mochtar Lubis and contains about his criticism to the Guided Democracy done by Soekarno. He was really a nationalist.
(Posting ini format bahasa Inggrisnya dari segi gramatikal mungkin banyak yang salah. Jadi, mohon dikritik dan diberi saran untuk perbaikannya.
07 January 2008
Saya, 'Sosialisme', dan Blog
Dan, Alhamdulillah, keinginan saya tercapai. Begitu UAS selesai, beberapa hari setelahnya saya langsung berangkat menuju perpustakaan dan mendaftar sebagai anggota. Setelah itu saya mencoba melihat-lihat buku-buku yang ada, dan berusaha menemukan buku yang saya minati. Ternyata saya menemukan novel, kumpulan cerpen, dan novelet yang bagi saya ketika itu paling menarik. Saya pun meminjamnya dan membacanya di rumah untuk mengisi waktu luang di masa liburan dan sekaligus sebagai obat rasa haus saya akan bacaan.
Dan seiring berjalannya waktu, minat baca saya pun merambah ke bidang-bidang lain seperti agama, sosial, ekonomi, filsafat, politik, dan sebagainya. Saya ketika itu hanya merasa bahwa saya memang harus membaca sebanyak-banyaknya agar pengetahuan dan wawasan saya semakin luas. Namun, kalau boleh menyebut seseorang yang memiliki peran besar terhadap perubahan diri saya, maka saya memilih Ustadz Aang Baihaqi. Beliau adalah salah satu ustadz (guru) di madrasah dan pesantren saya. Pertama kali beliau mengajar saya saat masih kelas 3 MTs semester 1. Beliau mengajar mata pelajaran Aswaja/ Ke-NU-an. Baru pertama kalinya mengajar, beliau mendorong kami untuk berkarya dan membaca. Beliau memberikan contoh orang-orang sukses seperti Soekarno, Hatta, Gus Dur, dan sebagainya. Beliau juga mengajarkan, walaupun secara tidak langsung, agar kita berpikir kritis, rasional, dan ilmiah. Penjelasan-penjelasannya memang masih sulit ditangkap oleh siswa-siswa, karena sangat berbeda dengan apa yang terdapat di dalam buku bacaan wajib. Kami pun hanya bisa tercengang dan diam membisu (karena bingung) setiap kali mendengarkan penjelasan beliau di kelas. Namun, bagi saya, dan mungkin teman-teman sekelas lainnya, justru hal itulah yang membuat saya penasaran setengah mati untuk mengetahui apa yang dimaksudkan oleh beliau. Dan rasa penasaran itulah yang akhirnya mengantarkan saya pada pembacaan terhadaap berbagai bacaan yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sulit dan berat.
Lalu, apa hubungannya dengan judul 'Sosialisme' yang saya berikan untuk blog saya? Sebenarnya jawabannya sangat sederhana. Namun saya ingin menjelaskan secara lebih gamblang agar lebih jelas dan tidak membuat Anda, para pembaca, kebingungan, mengangap aneh, atau penasaran.
Ceritanya bermula dari kegemaran saya terhadap bacaan-bacaan yang bisa dibilang berat, mulai dari agama, sosial, ekonomi, filsafat, hingga politik. Dan dari bacaan-bacaan itulah saya mulai mengenal istilah-istilah semacam rasionalisme, empirisme, emanasi, kapitalisme, liberalisme, aufklarung, dan termasuk juga sosialisme.
Setelah melakukan pembacaan yang cukup lama, walaupun mungkin belum bisa dibilang mendalam, saya mengambil sedikit kesimpulan bahwa cara terbaik untuk mengatasi problem dan krisis yang melanda Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya adalah dengan menerapkan sistem ekonomi-politik yang didasari oleh filsafat sosialisme. Yang saya maksud dengan sosialisme di sini bukanlah Marxisme-Leninisme, Marxisme ala Stalin, atau Marxisme versi-versi lainnya. Yang saya maksud adalah sosialisme yang kontekstual, up to date, menyejarah, dan membumi. Yang saya maksud adalah sosialisme yang mampu berdialog dengan bahasa tempat ia berada dan hidup, sosialisme yang mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, dan sosialisme yang mampu menghargai, menghormati dan bahkan mengangkat harkat dan martabat lingkungan tempat tinggalnya dengan menampilkan ciri khasnya yang unik. Dengan demikian, maka dapat diharapkan munculnya sebuah tatanan masyarakat sosialis yang sebenar-benarnya, yang menyejahterakan rakyatnya dan memenuhi aspirasi mereka dalam segala aspek yang bersifat positif.
Oleh karena itulah saya mencantumkan kata 'sosialisme' sebagai judul blog saya, dengan sebuah harapan besar bahwa adanya blog ini dapat membuat kita semua tergerak dan bergerak untuk melakukan sebuah usaha yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat sosialis yang ideal. Kita tidak boleh menyerah, kita harus yakin bahwa apa yang kita cita-citakan itu pasti akan terwujud di masa depan, dan kita adalah bagian dari perintisnya. Lao Tse pernah mengatakan: ”Perjalanan satu mil dimulai dari satu langkah”. Dan Henry Ford pun berkata: ”Whether you believe you can or whether you believe you can't, you are absolutely right”.
Mari kita tuntaskan perubahan menuju Indonesia yang lebih baik!!!
05 January 2008
Agama dan Keterbatasan Akal
Namun, apakah yang dimaksud dengan akal itu? Secara bahasa akal berarti tali pengikat. Adapun secara istilah akal adalah daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya. Hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Prof.Dr.Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam (Lentera Hati:2006). Definisi ini menunjukkan bahwa akal merupakan suatu potensi yang dapat membantu kita umat manusia untuk memahami persoalan-persoalan yang ada, termasuk persoalan agama. Akan tetapi perlu diingat bahwa akal itu sendiri memiliki wilayah peran yang terbatas, alias tidak mutlak, karena tidak semua persoalan dapat dicerna oleh akal. Misalnya perintah wudlu. Kenapa kita orang Islam diperintahkan berwudlu sebelum shalat atau mengaji Al-Qur'an? Bukankah kalau kita sudah mandi atau badan kita sudah bersih maka tidak perlu berwudlu? Atau misalnya perintah tayammum sebagai ganti dari wudlu ketika tidak menemukan air. Bukankah debu-walaupun bersih-dapat mengotori tubuh?
Para pakar hukum Islam membedakan antara illat dan hikmah. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi untuk menamakan sesuatu sebagai illat. Salah satunya adalah bahwa illat merupakan sesuatu yang jelas lagi dapat terukur, dan yang atas dasar keberadaannya hukum ditetapkan. Begitu juga sebaliknya, jika ia tidak ada, maka hukum terangkat (tidak berlaku lagi). Tetapi jika sesuatu itu tidak dapat terukur secara jelas, maka ia dinamakan hikmah, bukan illat. Dalam kasus tayammum di atas kita tidak dapat menemukan sesuatu yang jelas, terukur, dan dapat dijadikan sebagai dasar atau patokan dalam penetapan atau peniadaan hukumnya. Namun kita dapat mengira-ngirakan hikmah di baliknya, yaitu agar kita ingat dan sadar akan penciptaan diri kita yang berasal dari tanah. Hal tersebut tidak berarti bahwa hukum itu bertentangan dengan akal, tetapi semata karena akal kita belum atau tidak dapat mencernanya. Tidak ada satupun dari ajaran islam yang bertentangan dengan akal.
Keterbatasan akal di atas tidak berarti mengharuskan kita untuk menerima sesuatu itu apa adanya tanpa ada kesadaran untuk mempertanyakan hakikat atau kebenarannya lebih lanjut. Justru akal dengan segala keterbatasannya itu harus kita gunakan dengan sebaik-baiknya untuk memikirkan dan memahami apa yang ada di hadapan kita. Barulah ketika kita sudah sampai pada batas maksimal kemampuan akal dan usaha kita, semuanya kita serahkan kepada Allah, tawakkal, sebagaimana firman-Nya: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah nasib mereka sendiri (dengan usaha mereka)".
Seorang bijak bestari mengatakan: "Setiap manusia adalah sempurna, dan kesempurnaannya itu terletak pada ketidaksempurnaannya".
Wallahu a'lam.
03 January 2008
Muqoddimah
Alhamdulillah, akhirnya usaha saya untuk menciptakan sebuah blog telah berhasil, walaupun dengan perjuangan yang cukup melelahkan. Saya berharap dengan adanya blog ini saya dapat mengekspresikan diri (mungkin lebih tepat diistilahkan 'mengaktualisasikan diri') secara lebih maksimal dan bermanfaat. Saya memilih judul blog saya dengan nama 'sosialisme' karena saya beranggapan bahwa dengan nama itulah saya akan mampu terus memotivasi diri saya untuk selalu berusaha dan berjuang di jalan 'rakyat Indonesia tercinta' (ini serius lho!). Dan semoga dengan membaca blog ini para pembacanya akan sedikit tergugah untuk ikut ambil bagian dalam perbaikan kondisi bangsa dan negara Indonesia ini ke arah yang lebih baik di masa depan. Amin.
Saya tidak ingin adanya blog ini membuat saya merasa 'di atas', oleh karena itu saya senantiasa mengharapkan sumbangan para pembaca bagi perbaikan tulisan-tulisan saya kelak.
Bravo, Rakyat Indonesia!!!!
Khilafah Islamiyah dan Kemaslahatan Umat
Pertanyaannya adalah, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan khilafah, imamah, umat, dan kata-kata yang sejenisnya? Dan kenapa terjadi perbedaan pemahaman seperti kedua kutub di atas? Atau malah mungkin masih ada kutub lain selain kedua kutub di atas?
Sebagaimana kita ketahui bersama, saat ini cita-cita untuk mewujudkan pemerintahan ala ‘khilafah Islamiyah’ semakin gencar disuarakan oleh berbagai kalangan, bahkan lingkupnya sudah bertaraf internasional. Adapun kelompok yang paling menonjol dalam kampanye ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sebuah partai politik yang berideologi Islam. Partai ini memiliki jaringan yang luas, karena di berbagai negara lain terdapat partai yang sama, berideologi yang sama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Hizbut Tahrir merupakan partai internasional.
Kata ‘khilafah Islamiyah’ berasal dari kata ‘khilafah’ dan ‘Islamiyah’. Kata ‘khilafah’ secara bahasa berarti pergantian. Sedangkan kata ‘Islamiyah’ sendiri berarti yang bersifat atau berciri khas Islam. Mungkin kita mengenal kata ‘khalifah’ yang sering ditujukan kepada empat pemimpin pengganti Rasulullah SAW setelah beliau wafat. Dan yang dimaksud oleh kalangan pro-‘khilafah Islamiyah’ memang adalah sebuah sistem pemerintahan yang persis seperti yang pernah diterapkan oleh keempat sahabat tersebut yang dianggap benar-benar sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dan pernah diterapkan oleh beliau semasa hidupnya.
Menurut mereka, konsep yang telah diterapkan di berbagai negara, terutama konsep demokrasi yang notabene adalah yang paling baik, bertentangan dengan ajaran syari’at Islam. Kenapa? Karena berdasarkan sistem demokrasi, suara mayoritas merupakan dasar yang paling sah bagi pengambilan segala keputusan pemerintah. Padahal, menurut mereka, meskipun misalnya suara mayoritas mengatakan A, hasil keputusan tersebut belum tentu merupakan kebenaran yang sesuai dengan ajaran agama. Apalagi bagi negara Indonesia, misalnya, yang sebagian besar rakyatnya atau konstituennya bersikap irasional dalam menggunakan suara mereka pada saat Pemilu. Ditambah lagi dengan adanya para wakil rakyat yang kurang memiliki kesadaran dan komitmen dalam menjalankan tugas mereka. Kebanyakan di antara mereka lebih bermotivasi politis-pragmatis pada saat pemilihan legislatif daripada motivasi moral atau politik luhur. Selain itu, mereka juga menganggap bahwa konsep politik selama ini yang kita pahami sebagai ajang meraih kekuasaan belaka merupakan sebuah reduksi bagi makna dan peran luhur politik itu sendiri.
Mereka berpendapat bahwa sistem politik ala khilafah Islamiyah merupakan sistem politik yang paling tepat untuk menggantikan sistem politik demokrasi. Hal ini dikarenakan dalam ajaran Islam seorang khalifah atau kepala negara haruslah seorang yang memiliki sifat-sifat kenabian, yaitu shiddiq (kejujuran), amanah (dapat dipercaya), tabligh (keterbukaan/transparansi), dan fathonah (kecerdasan/intelektualitas). Dan yang berhak menentukan khalifah tersebut adalah sekelompok ulama’ yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi dan shaleh yang disebut dengan lembaga ahlul halli wal 'aqdi. Mereka ini dipilih secara selektif melalui pemilu. Dengan begitu, menurut mereka, hal-hal yang terjadi seperti pada DPR kita di Indonesia atau negara-negara lainnya seperti KKN atau pengesahan undang-undang yang bertentangan dengan syari’at Islam tidak akan ditemukan di dalamnya. Selain itu, dan hal ini yang sering mereka tekankan, sesungguhnya makna kata ‘politik’ dalam Islam yang berasal dari kata ‘siyasiy’, yang secara bahasa berarti strategi, memiliki makna secara luas sebagai sebuah strategi untuk mewujudkan tatanan yang adil, makmur, sejahtera, dan selaras dengan syari’at Islam.
Selain itu, mereka yang pro-khilafah beranggapan bahwa parlemen beserta sistem yang mengendalikannya yang ada sekarang ini tidak sesuai dengan ajaran di dalam Islam yang disebut dengan syura. Walaupun memang kelihatannya sama, yaitu berprinsipkan pada asas musyawarah, namun terdapat perbedaan dalam hal otoritas pengambilan keputusan final (decision making). Dalam sistem demokrasi, keputusan untuk mengambil kebijakan terhadap masalah tertentu didasarkan pada kesepakatan antara lembaga eksekutif (presiden) dan lembaga legislatif (DPR). Sedangkan dalam pandangan syari'at Islam (syura) hak untuk mengambil keputusan final adalah milik khalifah, walaupun mungkin berbeda dengan apa yang direkomendasikan oleh lembaga legislatif (ahlul halli wal 'aqdi). Kenapa demikian? Karena dalam sistem syura ini lembaga legislatif hanya berperan sebagai penganjur atau konsultan saja tanpa hak untuk ikut memutuskan sebuah kebijakan.
Menurut saya, pandangan kalangan pro-khilafah seperti di atas mengandung beberapa kelemahan. Pertama, yaitu bahwa sistem khilafah sebenarnya hampir sama dengan sistem demokrasi. Kalau yang mereka perdebatkan adalah masalah 'kekafiran' sistem demokrasi, maka mengapa hal-hal seperti teknologi dan buku-buku yang berasal dari Barat kita ambil, kita pakai, dan bahkan beberapa pandangannya kita ikuti? Saya kira hal yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mengambil apa yang bermanfaat dari Barat dan membuang atau bahkan memperbaiki apa yang tidak bermanfaat dan mengandung mudharat. Adapun sistem demokrasi, menurut saya sudah cukup baik, tinggal bagaimana kita memanfaatkan dan 'memolesnya' untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Siapakah yang bisa menjamin bahwa ulama' yang akan duduk di lembaga ahlul halli wal 'aqdi benar-benar merupakan orang-orang yang 'pantas'? Siapa pula yang dapat menjamin bahwa khalifah yang kelak dipilih oleh mereka itu benar-benar sesuai dengan kriteria yang ada? Dan apakah kalau misalnya kebijakan sang khalifah tidak sesuai dengan kemaslahatan umat ia dapat diganti begitu saja? Siapa yang dapat menentukan sesuatu kebijakan mengandung kemaslahatan atau tidak?
Hal-hal yang menjadi pertanyaan saya di ataslah yang menurut saya harus kita renungkan bersama untuk mencoba mencari solusi terbaik bagi permasalahan-permasalahan yang kompleks yang sedang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia kita tercinta ini dan mungkin juga seluruh negara-negara di belahan dunia lainnya. Masih banyak permasalahan multidimensional yang lebih penting yang harus kita carikan solusinya sesegera mungkin daripada sekedar memperdebatkan format sistem politik yang terbaik. Bukankah tujuan utama turunnya agama Islam di dunia ini adalah untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya?
Wallahu a'lam bi al-showab.